Tuesday, May 13, 2025

Bebas Bicara, Asal Bicaranya Sama


 

Judul: "Negeri Seribu Mikrofon, Tapi Satu Script"

Pengantar: Mereka berkata, "Silakan bicara." Tapi jangan berbeda, nanti salah nada. Katanya bebas, tapi lidahmu harus bersertifikat otoritas.

Karya Pengembara Hidup dan Pujangga Digital: Jeffrie Gerry (Japra)


Puisi Satir: "Negeri Seribu Mikrofon, Tapi Satu Script"

Halo, rakyat yang merdeka, Silakan bicara, asal katanya sama, Kata-kata telah disulap jadi mata uang, Dan diam jadi mata-mata paling berbahaya.

Kami bangga punya kebebasan berpendapat, Tapi dengan catatan kaki sepanjang disertasi, Jangan terlalu jujur, nanti dikira makar, Tertawa pun harus dalam frekuensi nasional.

Layar kami pixel sempurna, penuh warna, Tapi hanya satu saluran, satu suara, Yang lain dibisukan, bukan dibungkam, Karena kami cinta damai, asal damainya diam.

Inilah negeri yang penuh "opsi terbatas" Tempat opini diuji oleh KPI spiritual, Saring sebelum sharing, atau hidupmu yang tersaring, Dan kita pun belajar: berpikir adalah seni menyamakan.

Kami punya kebebasan kata, Asal katanya tak melenceng dari tata kata, Ejaan yang disempurnakan oleh yang maha regulator, Diksi yang diawasi langsung dari pusat tata nilai.

Tuhan pun jika turun ke bumi, Mungkin akan diminta akreditasi, Sebab ajaran harus relevan dengan trend, Dan nubuatan disusun dalam bentuk carousel Instagram.

"Silakan demo, asal tidak di trotoar, Silakan menulis, asal tidak menyindir, Silakan bertanya, asal pertanyaan retoris saja, Karena pertanyaan nyata terlalu mengusik kenyataan kami."

Kami hidup dalam seminar motivasi nasional, Di mana kegagalan adalah salah pribadi, Dan sukses adalah warisan DNA pejabat, Kritik disebut dengki, saran dianggap makar.

Mikrofon-mikrofon tersedia di tiap sudut jalan, Tapi semua sudah dikalibrasi sebelumnya, Kata "korupsi" dipendekkan jadi "kreativitas", Dan "kebijakan rakyat" jadi "hak prerogatif Tuhan-tuhan kecil."

Panggung besar disiapkan tiap tahun, Untuk menampilkan tokoh-tokoh berbicara tentang kebebasan, Sambil membawa catatan yang disetujui kementerian, Satu per satu mengumandangkan puisi yang sama:

"Kami bebas... bebas untuk patuh Kami merdeka... merdeka untuk tidak bertanya"

Di ruang kelas, guru bertanya: "Anak-anak, apa itu demokrasi?" Dan semua menjawab serempak, "Demokrasi adalah saat rakyat memilih diam dengan penuh suka cita!"

Oh, betapa indahnya keberagaman yang seragam, Kebebasan yang terorganisir, Kejujuran yang telah dikurasi, Dan keberanian yang harus melewati birokrasi.

Di sini, satire adalah strategi bertahan hidup, Monolog dalam batin jadi hiburan paling aman, Karena berbicara terlalu keras bisa dianggap nyinyir, Dan terlalu diam bisa dianggap subversif.

Lihatlah betapa indahnya taman kebebasan ini, Penuh bunga plastik yang tak pernah gugur, Daun-daun yang tak bisa layu, Karena semua telah disemprot larutan stabilitas nasional.

"Jangan khawatir," kata si pejabat, "Kami tidak membungkam Anda, Kami hanya mengatur napas Anda, Agar harmonis dengan irama pembangunan."

Lalu datanglah influencer, pahlawan digital baru, Dengan ring light dan naskah dari sponsor negara, Mengajarkan makna toleransi versi feed bersponsor, Dan pentingnya bersyukur dalam ketimpangan yang dirayakan.

Kita semua disuruh jadi duta senyuman, Walau gigi berlubang karena janji tak ditepati, Kita jadi ambassador harapan palsu, Dengan follower yang lebih jujur dari realita.

Mereka berkata: "Mari beropini, asal viral dan tidak berbahaya," Karena algoritma kini lebih adil dari hukum, Dan dislike kini lebih mematikan dari kritik akademis.

Kebenaran? Oh itu sudah dijual dalam bentuk NFT, Hanya bisa dibeli oleh yang punya izin, Dan moral? Itu sudah di-outsource ke AI, Agar lebih netral dan tidak menyindir elite.

Monolog batin jadi gaya hidup, Dialog jadi konten berbayar, Dan diskusi tinggal ilusi, Sebab debat kini disebut pelanggaran etika daring.

"Jangan main-main dengan kata-kata," Kata si pembuat kamus resmi, "Karena tiap suku kata bisa jadi bukti bahwa kamu berbeda—dan itu sangat berbahaya."

Di negeri ini, Pahlawan adalah yang bisa menyusun kalimat pasif agresif dengan anggun, Dan penjahat adalah yang berkata jujur tanpa filter, Sementara netral adalah posisi aman untuk menyembunyikan ketakutan.

Seni disubsidi selama tidak menyindir, Sastra diajarkan tapi tak boleh digunakan, Kritikus diberi panggung asal kritiknya datar, Dan sastrawan dicetak dengan tinta sensor.

"Kau terlalu vokal," kata moderator hidup, "Turunkan volumenya, atau kami turunkan hidupmu," Karena di sini, pembicaraan harus lulus uji sensor nurani kolektif, Yang ditentukan oleh sekelompok orang yang takut ditanya.

Kami bebas bicara, asal bicaranya sama, Kami boleh memilih, asal hasilnya aman, Kami boleh bermimpi, asal jangan terlalu dalam, Karena mimpi yang berbeda bisa mengganggu stabilitas tidur nasional.

Kami sudah terbiasa menyensor diri, Hingga cermin pun tak lagi mengenali siapa kami, Kami tersenyum dalam foto-foto nasional, Sambil menggigit lidah di belakang layar.

"Negara ini demokratis!" kata mereka sambil menunjuk dokumen, Yang penuh tanda tangan, tapi kosong suara, "Kalian punya suara!" kata mereka, Sambil menyetel volume mikrofon mereka sendiri lebih keras.

Dan kami pun belajar: Bicara bukan untuk menyampaikan, Tapi untuk mengulang, Bukan untuk membebaskan, Tapi untuk menyesuaikan.

Kami hidup dalam distopia yang sopan, Yang penuh etika dan tata krama, Sampai akhirnya lupa: Etika tak berarti apa-apa jika kejujuran dikriminalkan.

Kami pun jadi burung dalam sangkar bersuara merdu, Yang tak sadar bahwa lagu yang kami nyanyikan, Sudah ditulis oleh tangan tak terlihat, Dan kita dipuji karena kepatuhan, bukan karena isi nyanyian.


Refleksi Penutup: Puisi ini adalah tamparan lembut—atau keras, tergantung siapa yang membaca—bagi sistem sosial yang mengklaim kebebasan berekspresi, namun hanya memperbolehkan satu jenis ekspresi: yang aman, seragam, dan tidak menyinggung siapa pun kecuali logika sehat. Sindiran ini menyasar semua lapisan—dari pejabat hingga pengguna internet, dari pembuat aturan hingga para komentator anonim. Pesan moralnya sederhana: jika kita ingin kebebasan berbicara, mari juga rayakan keberagaman suara. Bukan dengan senyum palsu, tapi dengan keberanian mendengar, bahkan ketika kita tak setuju. Jadilah manusia yang berpikir, bukan hanya mengulang.

Berbicaralah, meski berbeda. Karena diam seragam adalah awal dari kebohongan massal.


Judul: ๐ŸŒ€ "Ngopi di Ujung Lidah Demokrasi: Dialog Ngawur, Tapi Kok Nyambung Ya?" ☕๐Ÿ—ฃ️

Pengantar: Di Warung "Pojok Ngutang" yang cuma terima senyuman sebagai jaminan, empat tokoh punakawan dan satu pujangga digital menyeruput satire seperti kopi tubruk: pahit, tapi bikin melek.

Karya Pengembara Hidup dan Pujangga Digital: Jeffrie Gerry (Japra)


(Dialog dan Puisi Satir)

๐Ÿ“Lokasi: Warung "Pojok Ngutang" ๐ŸชNegara: Konoha Baru ๐ŸŒŒPlanet: Blanksax ๐Ÿ“กGalaksi: Samsoeng

(Latar: Meja bulat dari triplek bekas seminar, kipas angin bersuara seperti nyamuk patah hati, dan aroma kopi yang mengandung 80% opini)

๐Ÿ‘ด Semar: (menyeruput kopi) "Kopi ini pahit, kayak kebebasan ngomong yang harus disensor pake budi pekerti hasil editan kantor pusat etika."

๐Ÿคฃ Petruk: "Bebas bicara asal bicaranya sama! Kalau beda dikit, nanti dikira ngigau di siang bolong."

๐Ÿฆป Gareng: "Atau dituduh penyebar hoaks, padahal cuman bilang 'aku lapar'."

๐Ÿ— Bagong: "Lho, lapar juga harus seragam sekarang. Harus lapar yang nasionalis, berdaulat, dan berkepemimpinan digital! ๐Ÿ‡ฎ๐Ÿ‡ฉ๐Ÿ“ฒ"

๐Ÿง  Jeffrie Gerry (Japra): (menulis di tisu bekas gorengan) "Negeri ini seperti PowerPoint penuh poin penting yang tak pernah dipraktikkan."


Puisi

Di sebuah negeri bernama Konoha Baru, Dimana demokrasi dibungkus plastik daur ulang, Disetrika rapi, lalu dijual sebagai kemerdekaan edisi terbatas.

๐ŸŽ™️ Di sana, ada undang-undang yang bertugas sebagai polisi moral, Moral versi siapa? Tidak penting, Yang penting tidak mengguncang kenyamanan mayoritas sunyi.

๐Ÿ“œ Bebas bicara? Tentu saja! Asal isinya sesuai buku pedoman gaya komunikasi aman 4.0 edisi revisi empat belas kali.

"Aku protes!" kata seorang anak muda, Lalu dicetak jadi meme bertulisan: "Pemberontak digital – terdeteksi algoritma."

๐Ÿ“ก Algoritma: makhluk suci baru yang disembah di kuil TikTok dan YouTube. Ia tahu mana ucapan yang bisa dimonetisasi dan mana yang harus dikutuk.


๐Ÿ‘ด Semar: "Algoritma tuh kayak Dewa Rasa: bisa suka, bisa lupa, bisa blokir."

๐Ÿคฃ Petruk: "Dan bisa jatuh cinta sama konten joget sambil nyebar teori konspirasi."

๐Ÿง  Japra: "Iya, asal disuarakan oleh akun verified dengan followers yang tumbuh lebih cepat dari IQ publik."

๐Ÿ— Bagong: "Aku bikin istilah baru nih: 'Omnifilter' – alat saring universal, yang nyaring suara hati jadi iklan sabun. ๐Ÿงผ๐Ÿงฝ"


Puisi Lanjut:

๐Ÿ“š Setiap suara kini dirapatkan, Dimuat dalam spreadsheet nasional, Lalu dinilai: layak tayang atau perlu dibasmi dengan emoji lucu. ๐Ÿ˜…๐Ÿšซ

"Tuhan pun ditanya apakah Dia sudah terverifikasi."

๐Ÿง  Dan rakyat menjadi pion digital, Yang mengetik panjang-panjang demi validasi 2 detik, Lalu dikubur dalam scroll yang tak pernah usai.

"Merdeka!" kata mikrofon, "Merdekaaa!" kata iklan politik dengan nada autotune.

๐ŸŽญ Dan para komentator muncul: Akun tanpa wajah, nama sejenis "DurenMatang_420" dan "OppaSakti77", Siap membela kebenaran sesuai versi idolanya.


๐Ÿฆป Gareng: "Komentator digital tuh kayak debu dalam angin topan: banyak, tak terlihat, tapi bikin batuk. ๐Ÿ’จ๐Ÿ˜ท"

๐Ÿคฃ Petruk: "Aku lebih percaya pada komentar gorengan: renyah, nyata, dan kadang bikin mencret."

๐Ÿ‘ด Semar: "Jangan lupa istilah baru: 'Demokradisi' – demokrasi yang dikurasi."

๐Ÿ— Bagong: "Atau 'Otoribatasi' – kebebasan yang dibatasi secara otoritatif."

๐Ÿง  Japra: "Atau 'Suarasepsi' – persepsi bahwa kita masih punya suara, padahal itu gema dari loudspeaker pusat. ๐Ÿ“ข๐Ÿ“ข๐Ÿ“ข"


Puisi Terakhir:

๐Ÿ“ฃ Maka kami bersyair dengan tangan gemetar, Bukan karena takut, tapi karena sinyal lemah.

Kami berseru di warung kopi, Menjadi pahlawan di meja lipat dan kursi plastik, Karena revolusi terlalu mahal dan tidak trending.

Dan suara kami dibingkai dalam format .mp4, Diedit dengan caption: "Kocak abis! Tapi dalem juga sih bro! ๐Ÿ˜ญ๐Ÿ”ฅ"

๐Ÿ‘️ Di negeri ini, Kebenaran harus viral dulu baru dianggap sah, Dan yang tidak ikut tertawa dianggap separatis humor. ๐Ÿงจ

Maka biarlah kami menulis satire ini, Dengan darah kopi, tinta absurd, dan keyboard patah semangat.

Karena kalau tak bisa bebas bicara, Kami akan bebas bercanda...

...asal candaannya sama. ๐Ÿ˜ถ


Refleksi Penutup: Puisi dan dialog ini adalah cermin retak dari kebebasan bicara yang dibungkus algoritma, dibumbui kultur seragam, dan dibumbui "narasi nasional" versi siap saji. Sindiran ini menampar semua pihak: dari netizen impulsif, penguasa algoritma, hingga kaum idealis yang lupa bahwa lidah juga butuh keberanian.

๐ŸŒฑ Mari terus bicara, tapi juga belajar mendengar. Tak perlu selalu sama, asal saling menghargai. Di dunia absurd ini, kebenaran kadang bersuara dengan suara sumbang – dan itu tetap layak didengar. ๐Ÿ•Š️

Kritik Itu Harus Berizin dan Tak Boleh Menyakitkan, Kecuali Kamu Rakyat

 


Judul: SURAT IZIN KRITIK NASIONAL (SIKN) – WAJIB DILAMPIRKAN SEBELUM BICARA KEBENARAN

Karya Pengembara Hidup dan Pujangga Digital: Jeffrie Gerry (Japra)

"Di negeri yang katanya demokratis, kata 'kebebasan' dicetak miring, diberi catatan kaki, dan disisipkan syarat administrasi."

"Kritik itu boleh, asal sudah diuji laboratorium perasaan dan tak mengganggu kenyamanan kasta atasan."


Di kota yang jam dindingnya hanya berdetak untuk elit, Kami rakyat harus antre untuk berkata jujur, Isi formulir A-17: Permohonan Menyampaikan Keresahan. Lengkapi dengan materai, QR-code, dan air mata.

Kritikku tak bisa langsung terucap, Ia harus lewat kantor sensus persepsi, Disetujui tujuh lapis birokrasi emosi, Dan jangan lupa: disumpah untuk tak menyakiti perasaan perabotan istana.

“Jangan kasar,” kata pembina etika daring, Sambil mengunggah selfie di depan mobil dinas, “Kalau mau mengkritik, pakailah pantun, bukan peluru,” Lalu ia nyalakan sirine, padahal cuma mau beli parfum.

Sampaikan keluhanmu dengan sopan, Dalam bentuk puisi, lagu, atau isyarat burung merpati. Jangan frontal, nanti dituduh radikal, Jangan realistis, nanti dianggap pesimistis.

Rakyat itu mesti manis, Seperti es teh di ruang rapat paripurna, Tak boleh pahit meski airnya penuh lumpur janji. “Ngomonglah santun, meski hakmu dirampas halus.”

Aku pernah mengeluh soal listrik padam, Dibilang kurang bersyukur, Katanya gelap itu romantis, Dan lilin bisa menumbuhkan ekonomi mikro.

Aku protes harga beras naik, Dibilang hoaks, karena statistik bilang turun, Tapi statistik tak pernah belanja ke warung, Ia hanya rapat di PowerPoint.

Kau tak boleh berkata "Kami lapar", Sebelum dapat izin dari departemen selera, Karena rasa lapar bisa menyinggung stabilitas negara.

“Kalau tak suka sistem ini, keluar saja dari negeri,” Ucap tuan berpakaian adat sambil menyantap keju impor, Ia lupa, kami rakyat bukan turis di tanah kelahiran sendiri.

Kritik itu harus diaudit oleh tim pengendali narasi, Jangan sampai merusak estetika propaganda nasional. Kritik yang baik adalah yang tak terdengar, Seperti doa orang yang sudah menyerah.

Buat kritik yang bisa ditertawakan, Tapi tak menyentuh akar masalah, Seperti sinetron yang lucu tapi tak mendidik, Atau talkshow yang sibuk tertawa tapi lupa bertanya.

Jika kau ingin bicara soal korupsi, Pastikan kau tak menyebut nama, angka, atau dampaknya, Karena transparansi sudah diatur dalam perjanjian rahasia negara.

“Kalau Anda benar, tak perlu takut bicara,” Tapi saat bicara, kami diancam pasal karet, Pasal yang lentur seperti janji kampanye, Yang bisa memelintir siapa pun yang bernapas terlalu kritis.

Kritik tak boleh menyakitkan, Kecuali kamu rakyat. Karena hanya rakyat yang punya daya tahan terhadap luka tanpa pelindung.

Sementara para penguasa, Adalah bayi-bayi besar bermental beludru, Yang menangis jika disentil realitas, Dan minta disusui validasi dari buzzer berbayar.

Kami diajari moral sejak SD, Tapi mereka melanggarnya saat disumpah jabatan, Kami dilarang mencuri pensil ujian, Tapi mereka menggondol subsidi dan tak mengaku.

Jangan bilang pejabat korup, Nanti dibilang tak punya etika jurnalisme warga, Lebih baik bilang: beliau sedang melakukan diversifikasi aset.

Ketika kota banjir, Mereka bilang: airnya belum disosialisasikan, Ketika sekolah roboh, Mereka bilang: itu bentuk pembelajaran di luar ruang.

Mereka menyebut kritik sebagai hama, Dan para pengkritik sebagai gulma liar, Padahal justru kritiklah pupuk tanah demokrasi, Yang mereka taburi pestisida kata-kata manis.

Aku ingin bertanya: Mengapa rakyat harus bijak, Sedang yang memimpin tak bijaksana? Mengapa kami wajib sabar, Sedang mereka buru-buru bagi kuasa?

Negara ini seperti opera sabun, Penuh drama, sedikit sabun, Kami disuruh bersih, tapi mereka mandi uang.

Dalam talkshow televisi nasional, Seorang wakil berkata: “Negara ini baik-baik saja,” Sambil menyeka peluh dengan dolar.

Kami disuruh diam demi ketenangan, Katanya kritik mengganggu investasi, Tapi korupsi tak pernah dianggap distraksi, Padahal ia menghancurkan pondasi.

Kritik yang menyakiti? Haram, Kecuali bila itu kritik ke rakyat, Maka ia sah, mulia, dan menjadi headline. “Kalian malas, bodoh, tak mau usaha,” Ucap mereka dari kursi empuk subsidi.

Rakyat itu harus tahan banting, Harus tabah tanpa subsidi, Harus cerdas tanpa buku, Harus sukses tanpa koneksi.

Dan jika kau mengeluh terlalu lantang, Akan datang petugas ketertiban moral nasional, Dengan senyum dan surat penahanan, Bersama pasal yang fleksibel dan penuh makna ganda.

Ini negeri penuh paradoks: Bersih tapi kotor, Tertib tapi semrawut, Bersatu tapi saling tuding, Kaya tapi miskin akal.

Lalu kami ditanya: “Apa yang kalian mau?” Kami jawab: “Didengar, tanpa syarat, tanpa sanksi.” Tapi jawaban kami disensor demi kestabilan citra digital.

Terkadang aku bertanya, Apakah kritik adalah dosa baru? Sementara kebohongan justru jadi kurikulum unggulan?

“Bersyukurlah masih bisa hidup,” Ucap influencer kenegaraan sambil endorse skincare politik, Katanya bahagia itu pilihan, meski kami hanya punya utang dan nasi basi.

Kritik itu harus didesain grafis, Dipoles agar cocok dengan feed media sosial pejabat, Karena bila terlalu jujur, dianggap tidak cinta negeri.

Cinta negeri versi mereka adalah memuji tak kenal waktu, Menyembah struktur, menutup mata pada retakan fondasi, Lalu menjual patriotisme dengan harga diskon.


Refleksi Penutup:

Puisi ini adalah cermin retak dari wajah kita bersama—tentang bagaimana kritik dimonopoli oleh mereka yang tak tahan dikritik. Sindiran ini menyasar pada budaya ketakutan yang dilestarikan, pada sistem yang menertawakan keluhan dan menyanjung pengabaian. Kritik yang seharusnya menjadi vitamin demokrasi kini dibungkus dengan prosedur, sensor, dan ancaman. Mari berani bersuara dengan cara yang cerdas, estetis, dan tanpa kekerasan. Karena suara rakyat bukan sekadar gema gaduh—ia adalah penanda bahwa bangsa ini masih hidup, meski kadang pura-pura mati rasa.


Judul: RAKYAT BOLEH KESAL, ASAL DENGAN SOPAN & BERIRAMA DI WARUNG "POJOK NGANJUK"

Karya Pengembara Hidup dan Pujangga Digital: Jeffrie Gerry (Japra)

"Jangan ngeluh terlalu keras, nanti sinyal 5G kecewa."

"Di Planet Mbelgedes, kritik perlu stempel Raja dan restu dari Dewa Paragraf."

๐Ÿ“Lokasi: Warung Kopi "Pojok Nganjuk" ๐Ÿช Negara: Konoha ๐ŸŒŒ Planet: Mbelgedes ๐Ÿ“ก Galaxy: Samsoeng

☕️ Pagi itu, aroma kopi sachet bersaing dengan sinyal Wi-Fi gratis. Di kursi panjang yang hanya bisa diduduki miring karena paku-pakunya goyang, duduklah tiga tokoh absurd yang serius tapi ngawur: Petruk, Gareng, dan Bagong. Di pojokan, si Jeffrie Gerry menyimak sambil nyeruput kopi rasa durian ๐ŸŒฐ☕️.


Dialog Satir & Absurd 

๐Ÿ‘บ Petruk: "Jeng jeng jeng… Aku baca puisi si Japra kemarin, judulnya ‘Kritik Harus Berizin’. Aku langsung nyari notaris buat ngeluh sama ayam tetangga!"

๐Ÿค“ Gareng: "Lho, lho, lho… Jangan sembarang kritik, Truk. Di Konoha, mengeluh itu hak istimewa para bangsawan digital. Kita rakyat hanya boleh berbisik. Itupun, lewat aplikasi yang teregistrasi."

๐Ÿท Bagong: "Kritikku pernah disensor, lho! Cuma bilang 'jalan rusak', eh, besoknya aku disuruh nulis ulang: 'jalan sedang menjalani introspeksi karakter permukaan' ๐Ÿ™„"

☕️ Jeffrie Gerry: "Bro, itu belum seberapa. Aku pernah bilang 'harga cabe naik', langsung muncul notifikasi: ‘Pernyataan Anda melukai stabilitas emosi kabinet’ ๐ŸŒถ️๐Ÿšซ."

๐Ÿ‘บ Petruk: "Di Mbelgedes, kritik mesti disampaikan pake pantun!

Kalau bisa jangan nyinyir, Kalau marah jangan melotot, Kalau protes harus taksir, Jangan nyolot, nanti dicopot."

๐Ÿค“ Gareng: "Dan jangan lupa, kalau mau kritik: ✅ Pakai jas formal, ✅ Senyum ramah, ✅ Ucap salam tiga kali, ✅ Sertakan bunga dan sedikit pujian palsu."

๐Ÿท Bagong: "Aku heran, kenapa rakyat dilarang nyolot, tapi pejabat boleh ngawur kayak ayunan bocah mabuk gula? ๐Ÿคฏ"

☕️ Jeffrie: "Karena di Planet ini, logika itu pakai sistem token. Rakyat cuma dapet 3 token logika per hari, sementara pejabat bisa beli paket premium unlimited nalar."

๐Ÿ‘บ Petruk: "Dan kalau kritikmu menyakitkan, siap-siap dapet label:

  • Tukang hoax ๐Ÿ˜ท

  • Pembenci kemajuan ๐Ÿ‘บ

  • Agen galaksi sebelah ๐Ÿ‘พ

  • Pengganggu kenyamanan kolektif ๐Ÿ˜ก"

๐Ÿค“ Gareng: "Kritik versi negara tuh kayak mie instan: harus ada bumbunya dulu dari kementerian. Tanpa itu, dianggap mie ilegal."

๐Ÿท Bagong: "Ngomong-ngomong, kemarin aku protes harga BBM naik. Eh, malah disuruh beli sepeda! Katanya: ‘Kalau cinta lingkungan, jangan manja.’ Aku langsung bayangin sepedaan ke kantor sambil bawa kulkas.๐Ÿšฒ❄️"

☕️ Jeffrie: "Aku juga. Bilang 'jalan berlubang', malah dijawab: 'Itu akses visualisasi sejarah pembangunan yang dinamis.'"

๐Ÿ‘บ Petruk: "Jangankan infrastruktur, nyebut nama pejabat aja langsung kaya main Squid Game. Salah sebut, hilang sinyal kehidupan! ๐Ÿ“ด"

๐Ÿค“ Gareng: "Aku pernah kritik di status WA, cuma emoji ๐Ÿ˜  dan ๐ŸŒ. Besoknya, ada surat cinta dari Satgas Emosi Nasional. Katanya: ‘Mohon kendalikan perasaan Anda, rakyat yang baik tidak emotikon sembarangan.’ ๐Ÿ’Œ"

๐Ÿท Bagong: "Kadang aku mikir, mungkin kita ini bukan rakyat, tapi figuran dalam sinetron panjang berjudul 'Demokrasi Tapi Jangan Macam-Macam'."

☕️ Jeffrie: "Bener Gong. Pemeran utama tuh pejabatnya, kita cuma cameo buat disorot pas pemilu. Abis itu, kita balik jadi hantu statistik. ๐Ÿ‘ป๐Ÿ“Š"

๐Ÿ‘บ Petruk: "Tapi jangan salah, kalau pejabat mengkritik rakyat? Wuih, langsung viral, dianggap inspiratif, dikasih penghargaan! ๐Ÿ…"

๐Ÿค“ Gareng: "Ya iya lah! Kritik rakyat itu ibarat batu, sedangkan kritik pejabat itu ibarat permata, walau bilang hal sama: 'Kalian malas'."

๐Ÿท Bagong: "Rakyat itu harus kuat: kuat lapar, kuat sabar, kuat utang, kuat disalahkan. Kayak superhero tapi gajinya minus. ๐Ÿฆธ‍♂️๐Ÿ“‰"

☕️ Jeffrie: "Ada yang bilang, ‘Kritik itu konstruktif’. Tapi nyatanya? Kalau kritik kita terlalu pas, malah dianggap penghasut. Kalau terlalu halus, dianggap pujian."

๐Ÿ‘บ Petruk: "Makanya, aku sekarang bikin kritik lewat lukisan. Lukisan ayam bersayap bendera, dijilat kucing berjas. Banyak yang nggak ngerti, dan itu bagus. Aman.๐ŸŽจ๐Ÿ”๐Ÿฑ"

๐Ÿค“ Gareng: "Aku sih nulis sajak absurd:

Bendera berkibar di angin hutang, Pajak naik dalam alunan gamelan digital, Kereta cepat datang lambat, Kritik rakyat dijadikan iklan."

๐Ÿท Bagong: "Aku nulis lagu rock:

‘Jangan kritik terlalu real, Bilang aja semua stabil. Atau nanti kau dianggap kriminal, Meski hanya nulis status digital.’ ๐ŸŽธ๐ŸŽค"

☕️ Jeffrie: "Negara ini seperti taman bermain yang dikelola manajer trauma. Semua harus senyum, meski lantainya bolong dan perosotannya ke jurang. ๐Ÿ›๐Ÿ’ฅ"

๐Ÿ‘บ Petruk: "Eh, eh, nih ada poster baru:

๐Ÿ“ข ‘Kritik diperbolehkan antara pukul 01.00–01.05 pagi, selama tidak membuat pejabat merasa tersindir secara spiritual.’

Aku langsung setting alarm.⏰๐Ÿ˜ด"

๐Ÿค“ Gareng: "Besok kita kritik lewat mimesis aja yuk. Kita berperan jadi rakyat bahagia. Nanti direkam. Kita kasih judul: ‘Fantasi Demokrasi: Episode Rakyat Halusinasi’. ๐ŸŽฌ"

๐Ÿท Bagong: "Tapi ending-nya jangan tragis. Biar absurd aja, kayak kebijakan musiman."

☕️ Jeffrie: "Betul Gong. Karena satu-satunya yang konsisten di Planet Mbelgedes adalah inkonsistensi itu sendiri."


Refleksi Penutup:

Di balik canda absurd dan celoteh para tokoh warung "Pojok Nganjuk", tersimpan cermin jujur atas realitas yang tak ideal: rakyat kerap dibungkam atas nama ketertiban, sementara penguasa berlindung di balik retorika sopan santun. Kritik yang seharusnya jadi sarana tumbuh malah dibungkus sebagai ancaman. Tapi di tengah semua kekonyolan itu, harapan tetap ada: rakyat yang masih bisa tertawa, berarti belum benar-benar kalah.

๐Ÿ™ Mari tetap kritis, cerdas, dan jenaka — karena suara rakyat, walau absurd, tetap punya kuasa untuk mengubah dunia.

๐ŸŽญ๐Ÿ’ฌ๐Ÿ‡ฎ๐Ÿ‡ฉ

Jadi Sarjana, Tapi Gagal Jadi Manusia

 


๐ŸŽ“ "Jadi Sarjana, Tapi Gagal Jadi Manusia"

Karya Pengembara Hidup dan Pujangga Digital: Jeffrie Gerry (Japra)


๐Ÿงญ Pengantar

Ilmu ditinggikan, akhlak ditinggalkan. Gelar dicapai, nurani ditanggalkan.

Maka lahirlah generasi cerdas tanpa kesadaran, pintar tanpa arah, dan hidup dalam ilusi keberhasilan.


๐Ÿ“œ Puisi Satir: "Jadi Sarjana, Tapi Gagal Jadi Manusia"

Aku lulus cum laude, katanya.
Ijazahku segede peta dunia,
tapi kalau disuruh senyum ke satpam—aku lupa caranya.

Sarjana sastra, tapi tak bisa membaca air mata.
Sarjana hukum, tapi mulutku penuh pasal palsu.
Sarjana teknik, tapi jiwaku retak sejak bangku S1.

Tiap foto wisuda, kutulis: “Alhamdulillah”
Tapi lisan tak pernah tanya kabar ibu
di kampung yang menjahitkan togaku dari tabungan dapur.


Aku pernah belajar etika,
tapi dosenku mencontek waktu ngisi absen.
Aku belajar filsafat,
tapi ujian akhirnya cuma hafalan tokoh dan tahun kematian.


Lalu kami pun lulus, serentak seperti bom waktu
meledak di linimasa,
berteriak: “Mana kerjaan untukku, aku lulusan terbaik!”
Tanpa sadar, nilai tertinggi tak menjamin hati yang hidup.
Lalu menyalahkan sistem, menyalahkan negara,
tanpa tahu cara menyapu halaman rumah sendiri.


Sarjana ekonomi,
tapi ngutang di lima aplikasi.
Sarjana kedokteran,
tapi kalau lihat pengemis, buru-buru tutup kaca mobil.
Sarjana pendidikan,
tapi lebih sering menggurui daripada mengajar.


Aku menulis skripsi tentang "Keberpihakan Sosial",
tapi menolak bayar parkir lima ribu.
Aku menulis tesis tentang "Keadilan Gender",
tapi menyuruh adikku di dapur sambil main PUBG.


Mereka bilang: “Sekolah tinggi biar hidup tinggi!”
Aku turuti.
Lalu kubangun menara ego di atas reruntuhan empati.
Kubungkus akal dalam toga,
dan kupajang foto itu di semua CV dan bio Tinder.


Aku sarjana,
yang bangga menulis caption bijak,
lalu menjatuhkan rekan kerja di kolom komentar.
Yang lancar pidato integritas,
tapi menyontek soal TOEFL pakai earphone kecil di telinga kiri.


Monolog di pagi hari:
“Aku harus sukses, harus kaya.”
Tapi tak pernah tanya: “Apa aku sudah layak dipercaya?”
Paradoks pun menari di otak:
Gelar bertambah, rasa malu berkurang.
IPK naik, tapi nalar justru makin pendek.


Aku sarjana manajemen,
tapi lupa memanajemen amarah di jalanan.
Aku sarjana komunikasi,
tapi saat pacarku menangis, kupilih main game.


Aku hafal teori pembangunan,
tapi lupa membangun karakter.
Kupelajari budaya bangsa lain,
tapi tak pernah tahu nama tetangga sendiri.


Sarjana, katanya.
Padahal aku hanya robot akademik:
diprogram untuk mengejar angka, bukan makna.
Kupelajari statistik,
tapi tak bisa hitung berapa kali aku menyakiti orang tua.


Dunia kampus: tempat kata “idealisme” dijual murah
di kantin fakultas,
di mana senior bisa berkata: “Pancasila itu penting,”
lalu memalak adik tingkat demi uang rokok.


Dosen bilang:
“Buatlah perubahan!”
Lalu menghilang di balik proyek penelitian fiktif.
Kami para mahasiswa, disuruh berinovasi
dalam ruang kelas yang jendelanya tak bisa dibuka.


Aku sarjana ilmu politik,
tapi takut debat jujur.
Lebih pilih main aman: jadi buzzer atau influencer.
Yang penting viral,
soal nilai moral, bisa diskon di akhir tahun.


Aku tahu semua teori konstitusi,
tapi tetap lempar botol waktu nonton bola.
Aku tahu semua istilah “human right”,
tapi teriak “salah sendiri!” saat melihat berita pelecehan.


Aku lulus!
Kupajang ijazah itu seperti medali perang,
padahal tak pernah berjuang untuk siapapun selain diriku.
Kutuju dunia kerja bukan untuk memberi makna,
tapi untuk cari kursi empuk dan AC kantor.


Saat wawancara kerja,
aku berkata: “Saya pekerja keras dan jujur.”
Padahal aku copy-paste surat lamaran dari ChatGPT.
Sarjana modern:
lebih canggih googling jawaban daripada mengakui kesalahan.


Kepalaku penuh dengan kutipan Steve Jobs dan Elon Musk,
tapi hatiku miskin dari rasa hormat.
Aku tertawa sinis pada penjaga parkir,
tapi tersenyum manis pada HRD yang kusuap dengan CV palsu.


Aku pernah ikut seminar "Menjadi Manusia Visioner",
tapi tak tahan mendengar saran tanpa sertifikat.
Kupotong bicara orang tua,
karena katanya, ilmu mereka tak linear dengan zamanku.


Kita ini sarjana,
tapi lebih pandai mengkritik daripada memperbaiki.
Kita bicara soal perubahan besar,
tapi lupa menyapa tukang sapu kampus.


Di media sosial:
aku tampak keren, filosofis, dan tercerahkan.
Tapi di dunia nyata,
aku tak bisa membedakan adab dan pencitraan.


Sarjana, tapi gagal jadi manusia.
Bukan karena tak tahu,
tapi karena tahu terlalu banyak—
hingga lupa merasakan, lupa menyentuh,
dan lupa mengaku salah.


Kita bangga dengan kampus unggulan,
tapi gagal jadi anak yang bisa dipeluk.
Kita lancar presentasi,
tapi gagap meminta maaf.


Dunia sudah penuh gelar,
tapi kekurangan hati.
Penuh aplikasi,
tapi miskin aksi.
Penuh kata-kata,
tapi kehabisan rasa.


๐Ÿชž Refleksi Penutup

Puisi ini menyentil mereka yang mengejar gelar akademik, tapi lupa menjadi manusia seutuhnya. Sindiran ini tak hanya untuk satu pihak—melainkan untuk kita semua yang kadang lupa bahwa pendidikan sejati bukan soal ijazah, tapi soal bagaimana kita memperlakukan sesama.

Pesan moralnya:
Mari belajar lebih dari sekadar lulus. Belajarlah menjadi manusia: yang tahu malu saat sombong, yang tahu empati saat menang, dan yang tetap rendah hati saat tahu banyak.

Karena dunia tak butuh lebih banyak sarjana,
tapi lebih banyak manusia yang layak dicontoh.


Berikut adalah puisi satir kedua yang lebih liar, buas, konyol, dan absurd—namun tetap mengandung kritik sosial yang tajam. Kali ini dikemas dalam dialog antara tokoh pewayangan Petruk, Gareng, dan Bagong, serta si "Pujangga Digital" Jeffrie Gerry, di sebuah warung kopi unik bernama "Pojok Ngutang" yang berada di Negara Konoha, Planet Belgedes, Galaxy Samsoeng.


๐ŸŽ“๐Ÿ“š “Wisuda di Planet Belgedes: Sarjana Kagak, Cuan Juga Belum” ๐Ÿ“ฑ๐ŸŒ€

Karya Pengembara Hidup & Pujangga Digital: Jeffrie Gerry (Japra)


๐ŸŒ€ Pengantar Pendek

“Di kampus kami belajar jadi manusia. Tapi pas lulus, lupa cara jadi manusia.”
—Petuah nenek dari Planet Belgedes yang sudah lama pensiun dari tugas menasihati.


☕️ Tempat Kejadian Aneh: Warung Kopi “Pojok Ngutang” ๐Ÿช

Di sinilah segalanya dimulai. Warung sederhana dengan kursi miring, colokan abal-abal, dan WiFi yang hanya menyala kalau ditendang tiga kali.

Tokoh:

  • Petruk (sang tinggi satir)

  • Gareng (si kritik penuh gaya)

  • Bagong (yang pura-pura bodoh tapi tajam)

  • Jeffrie Gerry (Pujangga Digital dari Bumi yang nyasar ke Belgedes)


☕️ Dialog Awal: Ngeri-Ngeri Lucu

Petruk:
“Gareng, kemarin aku lulus S3 dari Universitas Kosmik Internasional jurusan Ilmu Menyalahkan Orang Lain.” ๐ŸŽ“๐Ÿ‘ฝ

Gareng:
“Sah! Lulus dengan tesis: ‘Kenapa Semua Salah, Tapi Aku Tetap Benar.’” ๐Ÿ“˜๐Ÿ˜‚

Bagong:
“Lha aku malah baru jadi sarjana dari Kampus Kehidupan. Jurusanku: Bertahan Hidup dengan Utang dan Toleransi.” ๐Ÿ’ณ๐Ÿคท‍♂️

Jeffrie Gerry:
“Santuy, kawan. Di bumi, banyak sarjana lupa caranya jadi manusia. Gelar segede galaksi, tapi empati sekecil titik koma.” ๐Ÿค–❓


๐Ÿงจ Isi Puisi Satir Gaya Warung Kopi Penuh Lelucon Berdarah

๐Ÿ’ฌ Puisi ini bukan sekadar bait, ini obrolan absurd dari hati yang ngopi kebanyakan, tapi sadar separuh jalan.


Bait 1: Sarjana Itu Hebat
๐Ÿ“˜
Sarjana berdiri gagah di atas panggung,
Kamera fokus, orangtua terharu, guru bengong.
Bajunya toga, wajahnya penuh bangga,
Tapi dompetnya? Kosong seperti janji negara.

“Aku sarjana, tapi disuruh jaga parkiran dulu ya,”
kata seseorang dengan ijazah yang jadi tatakan es teh dua tahun belakangan.


Bait 2: Ironi yang Penuh Sensor Palsu
⚠️
Belajar filsafat tapi takut debat,
Belajar hukum tapi takut ditilang,
Belajar ekonomi tapi belum paham diskon.
Belajar komputer tapi suka nyalahin WiFi tiap gagal login ke hidup.

๐Ÿ“‰ “Login Error: Hati Anda Tidak Ditemukan.”


Bait 3: Parade Kebanggaan Kosong
๐ŸŽญ
Foto di Instagram: #Lulus!
Caption: “Terima kasih Tuhan dan coffee shop favorit.”
Tapi lupa berterima kasih pada petani kopi dan ibu kos yang selalu ngasih nasi sisa semalam.

๐Ÿง“ “Sarjana, tolongin ibu angkat galon dulu dong.”
๐ŸŽ“ “Maaf Bu, saya sudah S2. Itu bukan jobdesk saya.”


Bait 4: Dialog di Planet Belgedes
๐Ÿช
Gareng:
“Aku pernah tanya ke sarjana teknik, cara benerin kipas angin rusak.”
Petruk:
“Terus dia jawab?”
Gareng:
“Katanya: ‘Maaf, itu sudah di luar ranah akademis saya.’”

Bagong:
“Halah, aku tanya ke sarjana komunikasi, malah diblokir!”


Bait 5: Pabrik Ijazah dan Minim Manusia
๐Ÿญ
Di negeri kosmik, kampus seperti pabrik,
Menghasilkan lulusan tiap menit seperti bakso keliling.
Tapi ketika dunia terbakar oleh kebencian dan ego,
Sarjana hanya sibuk bikin podcast dan review tempat ngopi baru.


Bait 6: Gelar yang Menyesatkan Google Map
๐Ÿงญ
Profesor di dunia maya,
Tapi tak bisa membedakan mana yang nyata.
Mengetik panjang di kolom komentar,
Tapi diam saat tetangga kelaparan.

๐Ÿฅด “Pinter itu relatif, tapi bebal itu konstan.”


Bait 7: Konyol tapi Jujur
๐ŸŒ€
Petruk:
“Kenapa banyak sarjana kesepian?”
Gareng:
“Soalnya dulu skripsi diselesaikan sendirian. Sekarang hidup pun begitu.”
Bagong:
“Cieee yang ngejar IPK, tapi dikejar debt collector.”


Bait 8: Catatan dari Pujangga Digital
๐Ÿ“œ

“Sarjana bukan soal ijazah,
Tapi soal bagaimana kau berdiri ketika dunia menyuruhmu jongkok.
Bukan tentang teori dalam makalah,
Tapi tanganmu yang rela menolong orang kalah.”


Bait 9: Wisuda di Galaxy Samsoeng
๐ŸŒŒ
Gelar master, tapi hidup kacau,
Baju toga, tapi jiwa kosong.
Wisuda jadi perayaan,
Padahal hidup setelahnya ujian yang tak pernah diulang.


Bait 10: Satire Terakhir Sebelum Listrik Mati di Warung

Gareng:
“Bagong, kamu nulis puisi tentang hidup?”
Bagong:
“Iya, judulnya: ‘Kopi Hitam, Harapan Tipis.’
Petruk:
“Saya bikin novel: ‘Dari Sarjana Jadi Tukang Cuci Piring Interstellar’

Jeffrie Gerry:
“Tenang. Yang penting kita nggak kehilangan manusia di dalam diri.”


๐ŸŒŸ Refleksi & Penutup

Puisi ini adalah cermin retak dari zaman kita. Tentang gelar yang dielu-elukan tapi lupa bahwa empati, kebaikan, dan akal sehat tidak bisa dicetak di ijazah. Sindiran ini ditujukan untuk siapa saja yang merasa pintar tapi lupa cara menjadi manusia biasa yang peduli.

๐Ÿ”” Pesan moralnya sederhana:
Mari belajar menjadi manusia yang lebih baik, lebih rendah hati, lebih ringan tangan, dan tidak menyalahgunakan gelar untuk menginjak sesama.


๐Ÿ’ฌ “Karena di akhir cerita, bukan siapa yang paling pintar yang dikenang, tapi siapa yang paling tulus yang dirindukan.”

๐Ÿซถ Mari ngopi dengan hati, bukan cuma dengan gelar.
Salam dari Warung Pojok Ngutang, tempat di mana gelar dan tawa bisa duduk sejajar. ๐Ÿ˜„☕๐Ÿ“š


Jika kamu suka karya ini, silakan bagikan, diskusikan, dan ngopi bareng puisi ini.
Tag: #PuisiSatir #SarjanaTapiGagalJadiManusia #PujanggaDigital

๐ŸŒ€๐Ÿง ๐Ÿ“œ๐Ÿ‘ฃ๐Ÿ’”✨๐Ÿ“š๐Ÿ’ก

Monday, May 12, 2025

Museum Rupiah: Ketika Uang Jadi Barang Antik dan Dompet Jadi Kotak Kenangan

 


๐Ÿ“Œ Judul: "Museum Rupiah: Ketika Uang Jadi Barang Antik dan Dompet Jadi Kotak Kenangan"

๐Ÿ“ "Konon katanya uang bisa membeli segalanya, kecuali keberadaannya sendiri di akhir bulan."
๐Ÿ“ "Mereka bilang, uang tidak dibawa mati—nyatanya hidup pun sudah tak mampu menahannya."


✍️ Karya Pengembara Hidup dan Pujangga Digital: Jeffrie Gerry (Japra)


๐Ÿ” Puisi Satir:

Di era nano dan saldo digital, Uang berubah wujud, lebih cepat dari dosa, Dulu kertas, sekarang sinyal, Besok mungkin hanya mitos dalam lembar sejarah bangsa.

Anak-anak zaman now, main petak umpet dengan nominal, Dompet tinggal aksesoris gaya retro, ATM jadi tempat ziarah musiman, Dan gaji? Makhluk halus yang muncul tiap awal bulan lalu moksa.

"Uang, kau di mana?" tanya ibu kos dengan mata menyala, "Di aplikasi, Bu. Tapi kayaknya kehapus pas update kemarin."

Kini uang bukan lagi soal angka, Tapi soal drama tragedi transfer gagal, Saldo yang hilang tanpa permisi, Dan notifikasi: "Oops, pembayaran gagal, coba lagi nanti."

๐Ÿ’ธ

Kita hidup di zaman penuh paradoks: Uang bisa ke mana saja, kecuali ke kantong sendiri. Gajian pukul 00.01, habis pukul 00.02, Transparansi keuangan hanya berlaku di riwayat belanja.

E-Wallet: rumah sementara si rupiah, Sekejap mampir, lalu meluncur ke marketplace, Untuk membeli keranjang penuh harapan palsu: Diskon tipu-tipu dan gratis ongkir yang mematikan logika.

Uang zaman sekarang... Susah dicari, gampang hilang, Lebih gampang ditransfer ke mantan daripada dikembalikan oleh teman.

๐Ÿ“ฑ

Dulu orang bangga pegang dompet tebal, Sekarang, ponsel tipis isi 12 aplikasi pinjaman, "Butuh dana cepat? Cuma selfie sama KTP, bro!" Dan bunga? Lebih ganas dari pertumbuhan harga cabai.

Petruk bersaksi: "Aku dulu punya 100 ribu, sekarang tinggal kenangan dan screenshot." Bagong menimpali: "Uangku sih ada, cuma lagi disembunyikan sistem!"

Jeffrie Gerry melamun: "Aku beli kopi 30 ribu, tapi bahagia yang kuteguk cuma 30 detik, Sisanya? Cicilan rasa menyesal."

๐Ÿงพ

Kita ini generasi jago ngatur anggaran, Sampai harus milih antara kuota atau makan, Antara beli skincare atau bayar listrik, Dan kadang... semua dilewati demi langganan streaming.

Uang kini punya kehidupan sendiri, Bertualang tanpa restu, berlari tanpa arah, Diserbu pajak, dicium admin fee, Dan dihisap cicilan dengan senyum manis aplikasi.

๐Ÿ“‰

Di pasar tradisional, Penjual bilang, "Mau bayar cash atau QR code, Nak?" Pembeli mengeluh: "QR-nya error, sinyal lemah, dan pulsa habis."

Di rapat RT: "Iuran ronda kita pakai transfer aja, ya, biar modern." Di undangan nikah: "Mohon keikhlasan transfer ke rekening berikut, bawa amplop itu old school."

๐Ÿ’ณ

Uang menjadi entitas spiritual, Dipuja tapi tak pernah terlihat, Dirindukan namun sulit dijumpai, Kadang dianggap mitos, seperti UFO dan cinta sejati.

Ironis, bukan? Segala hal makin instan, Tapi cari uang makin lamban. Biaya hidup naik turbo, Tapi gaji tetap jalan kaki sambil ngopi.

"Investasi?" tanya Gareng. "Lah, makan aja masih nyicil harapan, Mas."

๐ŸŽญ

Uang zaman now: Tak berwujud, tapi bisa nyakitin, Tak bersuara, tapi bikin tidur gelisah, Tak terlihat, tapi mempengaruhi pilihan hidup.

Dulu orang menyimpan uang di bawah kasur, Sekarang disimpan di pikiran, dan hilang di kenyataan. Bahkan celengan ayam pun resign, Karena generasi sekarang lebih percaya paylater.

๐Ÿ’ผ

Pendidikan keuangan? Sudah tahu semua teori, Tapi kenyataannya... kalah oleh flash sale, Kalah oleh endorse, Kalah oleh godaan beli sekarang bayar belakangan.

Uang dulu alat tukar, Sekarang alat ukur martabat. "Punya berapa?" jadi standar, "Punya siapa?" jadi pertanyaan setelahnya.

๐Ÿง 

Ah, rupiah... kau makin langka, Bukan karena dicetak lebih sedikit, Tapi karena penggunaannya lebih cepat dari kedipan mata.

Kalau dulu orang bangga menabung, Sekarang bangga dapat limit pinjaman. Kalau dulu hemat pangkal kaya, Sekarang hemat dianggap pelit dan kurang gaul.

๐Ÿ“ข

"Jadi solusi apa, Japra?" Tanya Bagong sambil ngaduk kopi.

Jeffrie menjawab: "Mungkin solusinya bukan cari uang, Tapi cari akal, cari teman, dan cari wifi."

Petruk mengangguk: "Kita harus berdamai dengan uang, Seperti berdamai dengan mantan: diterima kepergiannya."

Gareng menimpali: "Atau kita bikin komunitas barter online, Biar kembali ke zaman batu tapi versi digital."

๐Ÿฅด

Di akhir obrolan warung kopi, Mereka menyimpulkan satu hal pasti:

Uang akan tetap menjadi misteri modern, Yang semakin kita kejar, semakin lincah ia bersembunyi, Mungkin nanti ada museum khusus, Berisi lembaran uang zaman dulu dan kenangan kita bersamanya.

๐Ÿ“š

Penutup yang Tak Pernah Cukup:

Uang memang bukan segalanya, Tapi semuanya butuh uang—ironis, tapi nyata. Jadi kalau besok kau ke warung dan uangmu hilang entah ke mana, Ingatlah:

Kita semua hidup di zaman di mana Uang itu nyata, tapi kehadirannya cuma sementara.

Salam hemat, salam absurd.
๐Ÿ’ธ๐Ÿ’€๐Ÿ“ฒ๐Ÿ“‰๐Ÿ›’



๐Ÿ“› Judul: "Pojok Ngutang: Ketika Uang Cuma Legenda di Planet Belgedes"

๐ŸŽญ Karya Pengembara Hidup dan Pujangga Digital: Jeffrie Gerry (Japra)

๐Ÿง  Pengantar: "Di sebuah sudut warung kopi bernama Pojok Ngutang, tiga makhluk legendaris dari masa depan—Petruk, Gareng, Bagong—berdebat soal uang. Tapi uang kini bukan alat tukar, melainkan mitos, semacam unicorn berjanggut... atau mungkin QRIS yang tak bisa discan."


(Suara sendawa terdengar di warung kopi Pojok Ngutang)

Bagong: "Gareng... Petruk... Uang itu masih ada nggak sih? Atau kita udah masuk zaman barter lagi? Tukar cangkir bekas sama utang perasaan? ๐Ÿ˜ฉ"

๐Ÿคฃ Gareng: "Uang? Itu cuma legenda, Gong. Kayak dinosaurus... Bedanya, dinosaurus masih ada di museum. Uang? Tinggal di dompet digital yang isinya 'saldo tidak mencukupi'! ๐Ÿฆ–๐Ÿ“ฑ๐Ÿ’€"

๐Ÿ˜Ž Petruk: "Tenang, bro. Di Planet Belgedes, uang itu konsep spiritual. Kalau kamu percaya, dia akan datang. Kayak mantan, tapi tanpa drama.✨๐Ÿ’ธ"

๐Ÿง”๐Ÿป‍♂️ Jeffrie Gerry (dari pojok gelap, ngetik di laptopnya):

"...Dan uang, yang katanya simbol kemakmuran, kini mirip kabar pemilu: datang 5 tahun sekali, bikin heboh, lalu hilang entah ke mana."

๐Ÿ“œ Puisi Dimulai:


๐Ÿ’ธ Uang itu barang antik kini Katanya alat tukar, kini alat gelar—"Sultan", katanya. Dulu dicetak, kini dicetak-cetak janji dalam seminar, Bayar 500K buat diajarin cara dapat 200K dari e-wallet. ๐Ÿ˜‚

Dompet tebal kini jadi dosa. Tanda tak tahu cara cashless, Tapi saldo nol tetap sama: universal dan lintas galaksi.๐ŸŒŒ

๐Ÿ“‰ Petruk bersabda sambil nyeruput kopi jagung: "Jangankan cari duit, nyari duit receh di kolong sofa aja sekarang dianggap investasi darurat." ๐Ÿ’ผ๐Ÿช™

๐Ÿ“ฒ Gareng menjawab sambil buka aplikasi banknya: "Aku buka aplikasi, loading... Loading... Lalu notifikasi: 'Saldo Anda tidak mencukupi untuk membuka harapan baru.'"

๐Ÿ˜ฎ Bagong: "Itu bukan saldo... Itu sabdo pandito!" ๐Ÿง™‍♂️


๐Ÿ›️ Mereka duduk di bawah poster bertuliskan: "Ekonomi Kreatif Dimulai dari Ngutang yang Inovatif."

๐Ÿ‘จ‍๐Ÿซ Jeffrie Gerry (monolog): Uang kini bukan alat bayar, tapi alat ukur kasta. Yang cash disebut mafia, yang kredit dianggap visioner, Padahal dua-duanya ngutang di aplikasi pinjaman berbunga tinggi.

๐Ÿ“‰ Uang? Jadi konten! Tantangan 30 hari hidup dengan 30 ribu, sukses jadi trending, Sementara realita: 3 hari dengan 30 ribu itu syarat hidup minimal.

๐Ÿ˜ซ Bagong (nangis ke dalam cangkir): "Kemarin aku mimpi dapet amplop tebal. Pas buka, isinya... petisi online. ๐Ÿ˜ญ๐Ÿ“œ"

๐Ÿ“‰ Gareng: "Aku mimpi dapat THR. Pas bangun, yang kutemukan cuma tagihan listrik dan kuota habis!"

๐Ÿคฃ Petruk: "Aku nggak berani tidur. Takut mimpi kerja, tapi gajinya mimpi juga."


๐Ÿฆ Puisi berlanjut:

Mereka bilang, “Berhematlah!” Tapi harga nasi kucing sudah tak semurah meongannya. Kucing saja sekarang ngutang Whiskas via e-wallet. ๐Ÿฑ๐Ÿ’ณ

Uang, oh uang, Kau jadi urban legend di zaman digital. Ada di layar, tapi tak bisa disentuh, Tiap mau dipakai, harus login, OTP, CAPTCHA, dan... gagal.

๐Ÿง  Jeffrie Gerry (merenung):

"Di masa depan, uang bukan untuk membeli barang, tapi untuk menebus kewarasan."


๐Ÿ“‰ Gareng (ke Petruk): "Dulu kita bisa nabung di celengan ayam. Sekarang? Nabung di dompet digital yang tiap minggu ngajak flash sale."

๐Ÿ˜ซ Bagong: "Celengan ayamku berubah jadi ayam beneran. Aku jual buat beli token listrik."

๐Ÿง‘‍๐ŸŽค Petruk menyanyikan lagu rock patah dompet:

"Uang... Kau datang saat diskon, pergi saat dompet kosong...๐ŸŽค๐Ÿ’ธ"


๐Ÿ“ฆ Puisi bertransisi ke dunia absurd:

Ada yang menjual tawa 10 ribu per menit, Ada yang menyewakan pelukan—pakai QR code! Ada yang jadi motivator cuma dengan modal nyinyir dan mic clip-on, Tapi semua tetap miskin... secara batin dan tabungan. ๐Ÿ˜ต๐Ÿ’ธ

๐Ÿ“œ Uang, oh uang... Kau seperti UFO—katanya ada, tapi yang pernah lihat langsung cuma influencer dan pejabat negara. ๐Ÿ›ธ


๐Ÿ’ก Jeffrie Gerry mencatat:

"Rekeningku bukan kosong, hanya sedang meditasi panjang... mencari pencerahan via subsidi."

๐Ÿคฃ Bagong: "Uangku juga sedang ibadah. Tiap masuk, langsung berkurban—bayar cicilan, bayar utang, dan sedekah ke kasir Indomaret."

๐Ÿ‘️‍๐Ÿ—จ️ Gareng: "Kadang aku merasa uang itu ninja. Diam-diam datang, tapi lebih sering menghilang."


๐Ÿ“ˆ Puisi memuncak:

Kau cari uang dari pagi, Kau pulang bawa lelah dan satu gelas kopi sachet, Tapi anakmu minta WiFi, bukan susu.

Ekonomi rumah tangga kini lebih mirip sirkus, Ngatur prioritas antara beli bensin atau bayar cicilan panci.

๐Ÿ˜… Petruk (sambil nunjuk langit): "Aku berharap ada satelit jatuh dan isinya: receh emas."


๐Ÿš€ Epilog dari Planet Belgedes:

Uang kini jadi semacam makhluk mitologi. Yang bisa menjinakkan uang cuma dua golongan: Petinggi keuangan dan YouTuber prank giveaway palsu.

Di Pojok Ngutang, warung kecil di pojok galaksi, Tiga pahlawan dompet kosong dan satu pujangga Menertawakan dunia... Karena kadang, satu-satunya cara bertahan dari absurditas adalah ikut gila.

๐Ÿซก Bagong: "Hidup itu berat, tapi ngopi dan ngutang bikin ringan... sementara."

Gareng: "Yang penting bukan uangnya, tapi sahabat buat diajak ketawa soal kemiskinan ini."

๐Ÿ“ Jeffrie Gerry:

"...Dan jika uang tak datang, setidaknya puisi ini bisa jadi kenang-kenangan absurd bahwa kita pernah bertahan—dengan tawa dan secangkir kopi utang."


๐ŸŽ‰ Penutup:

Jika kau tak menemukan uang di dompetmu, tenanglah, Mungkin uangmu sedang berada di tempat yang lebih mulia: Di tangan para penguasa, di iklan cashback, atau Sedang bersemedi di tengah seminar motivasi.

๐Ÿ“ข Bersulang, wahai kaum pejuang nasi bungkus dan diskon tengah malam!

๐Ÿ’ธ Karena uang itu antik... ๐Ÿ’ญ ...dan absurd adalah satu-satunya realita yang kita punya.

Pendidikan Gratis, Tapi Mahal Biayanya



 ๐Ÿ“š Judul:

“Universitas Bumi: Kuliah Gratis di Neraka Kapital”

✍️ Karya Pengembara Hidup dan Pujangga Digital: Jeffrie Gerry (Japra)


“Selamat datang di dunia di mana ilmu pengetahuan gratis… tapi kamu harus menjual ginjalmu untuk bangku kelas.”
Pendidikan bukanlah hak, tapi permainan lotere berbiaya tinggi dengan hadiah: utang abadi.


๐Ÿชถ Puisi Satir: Pendidikan Gratis, Tapi Mahal Biayanya


(I. Kuliah Gratis: Iklan Surga dari Neraka Dunia)

“Selamat datang, Mahasiswa Baru!
Kampus kami tidak memungut bayaran—hanya jiwa dan waktu mu.”
Begitu bunyi spanduk raksasa di gerbang,
dengan latar wajah senyum boneka menteri,
yang tak pernah tahu rasanya
mengangsur seragam sekolah dari hasil jual bensin eceran.

Gratis! teriak brosur digital itu,
dengan font Helvetica tebal dan hati palsu di ujungnya.
Tapi lupa bilang:
anda hanya perlu membayar listrik, kuota, buku yang disuruh beli tapi tak pernah dipakai,
praktikum virtual yang tetap kena potong uang lab,
dan tentu saja, mental breakdown mingguan
yang datang bersamaan dengan tugas PowerPoint tak berfaedah.


(II. Monolog Seorang Murid Berprestasi di Dunia yang Gagal Sekolah)

“Bu, aku lulus dengan nilai sempurna.”
Ibunya tersenyum, sambil menghitung sisa pinjaman koperasi.
“Aku dapat beasiswa penuh, Bu.”
Ibunya menatap dapur yang tak ada apinya:
“Penuh ya? Tapi kenapa kita tetap kosong?”


(III. Sarkasme dari Atas Mimbar Kampus Elit)

Di podium acara wisuda,
Rektor bersabda dengan toga dari merek luar negeri:
“Anak-anak bangsa, kalian masa depan!
Gunakan ilmu untuk mengabdi pada negara,
lalu bayar utang kalian dengan gaji magang tiga bulan.”
Tepuk tangan bergema,
karena semua tangan terpaksa bertepuk demi konten story.

Sementara itu, di belakang panggung:
Kantong kampus dibanjiri sponsor,
iklan multivitamin, logo mie instan,
dan kartu kredit untuk anak muda dengan bunga 29%.


(IV. Parodi Kelas Online: Ruang Belajar, Tapi Tetap Kosong)

Koneksi buruk,
suara dosen patah-patah seperti semangat mahasiswa.
“Mau jadi apa kalian kalau tak paham Pancasila?”
teriak Pak Guru dari layar 720p.
Padahal listrik kami tokennya sudah bunyi-bunyi sejak jam keempat.

Tapi tenang, negara menyediakan bantuan kuota,
cukup untuk unduh tugas,
tapi tidak cukup untuk unggah keluhan.


(V. Ironi Sebuah Sertifikat Bernilai Nol Rupiah)

Tiga tahun kuliah, empat kali magang,
lima puluh kali revisi skripsi,
dan enam ratus ribu rupiah untuk wisuda online,
hanya untuk menerima PDF bertuliskan:
“Selamat! Anda telah memenuhi syarat minimal untuk tidak diterima kerja.”


(VI. Satire dari Petugas Pendaftaran Kampus Terpandang)

“Syaratnya mudah, Kak!
Fotokopi ijazah, fotokopi KTP, fotokopi bukti pernah hidup,
dan formulir pendaftaran seharga tiga ratus ribu rupiah.”
Lalu senyum sang petugas sehangat pendingin ruangan 18 derajat,
menghantarkan calon mahasiswa ke ruang seleksi,
tempat nasib ditimbang dengan skala angka dan koneksi.


(VII. Monolog Para Orang Tua: Investasi yang Tak Kembali)

Ayah bekerja di proyek jalan tol,
berangkat jam lima, pulang jam sebelas.
Gajinya habis untuk biaya “gratis” anaknya kuliah.
Ibunya menjual kue di pinggir puskesmas,
berharap ada tambahan untuk bayar seminar nasional.

Tapi ijazah itu…
masih dilaminating,
ditaruh rapi di meja kecil,
sebagai pengingat:
bahwa mereka telah gagal menyelamatkan anaknya dari sistem yang pura-pura adil.


(VIII. Dialog Imajinasi dengan Menteri Pendidikan)

“Pak, katanya pendidikan gratis?”
“Betul! Tak ada uang pangkal, hanya uang samping dan uang tengah.”
“Lalu mengapa teman saya keluar karena tidak mampu beli laptop?”
“Ah itu bukan urusan saya, mungkin kurang inovatif.”
“Jadi, siapa yang bertanggung jawab atas nasib pelajar miskin?”
“Bukankah sudah ada YouTube?”


(IX. Paradoks Institusi Ilmu: Kampus sebagai Komoditas)

Universitas kini seperti mall,
menjual program studi seperti fashion musiman.
“Bergabunglah di Prodi Digital Marketing!
Tanpa perlu bakat, asal punya tabungan.”
“Masuk jurusan Ilmu Data!
Biaya semester dua digit, masa depan belum tentu tiga.”

Dan perpustakaan?
Masih ada, tapi jadi tempat pameran lukisan dosen.
Sedangkan jurnal ilmiah terkunci di balik paywall berbayar,
karena ilmu kini milik yang mampu berlangganan.


(X. Penutup: Dosa Kolektif Bernama Sistem)

Anak bangsa dijejali mimpi besar,
di atas alas yang rapuh dan miring.
Mereka diajarkan untuk berpikir kritis,
lalu dihukum ketika mulai bertanya.

Pendidikan adalah hak, katanya.
Tapi seperti WiFi publik:
Gratis, tapi sinyalnya mati.


๐Ÿ“ Epilog yang Menggigit dan Mengingatkan

Pendidikan gratis bukanlah lelucon,
tapi jadi bahan lawakan nasional.
Ia diklaim sebagai solusi,
padahal adalah labirin hutang dan tipu daya yang disponsori oleh idealisme basi.

Anak-anak cerdas di negeri ini
tidak kalah oleh malas,
mereka kalah oleh sistem yang pura-pura buta
dan suka selfie dengan piagam penghargaan.


๐Ÿ“ข Sebarkan jika kau pernah belajar dari keringat, bukan dari privilese.
Tag kawanmu yang pernah bertanya: 'Katanya gratis, kok rasanya ditipu?'
Diskusikan: Jika ilmu adalah cahaya, mengapa jalannya tetap gelap?


๐Ÿ“› Judul:
“Ngopi di Planet Belgedes: Obrolan Tentang Pendidikan Gratis yang Biayanya Kredit 24x Cicilan” ☕๐Ÿ“š๐Ÿช

✍️ Karya Pengembara Hidup dan Pujangga Digital: Jeffrie Gerry (Japra)


“Ketika Petruk bayar SPP pakai daun singkong, dan Gareng bikin skripsi sambil jaga angkringan, maka Bagong pun bertanya: Di mana letak gratisnya?”
– Perenungan di Planet Belgedes, saat senja berwarna hijau keunguan.


๐ŸŒŒ Setting:

Warung Kopi “Pojok Ngutang”
Lokasi: Tepi jurang logika, pinggiran Kota Konoha sektor pendidikan
Galaksi: Samsoeng
Planet: Belgedes
Waktu: Jam istirahat akal sehat


๐Ÿง  Prolog Dialog Intergalaksi Bertema Pendidikan yang Katanya Gratis

Di sebuah warung kopi yang dindingnya terbuat dari ijazah gagal dipakai kerja,
berkumpullah Petruk, Gareng, Bagong, dan Jeffrie Gerry.
Mereka berdiskusi serius... dengan gaya absurd,
tentang puisi panjang sebelumnya yang katanya menyindir sistem pendidikan yang "gratis-tapi-memiskinkan."


☕️๐Ÿ—ฃ️ Dialog Absurd dan Liar Tentang Puisi Satir

PETRUK ๐Ÿฆ’ (sambil ngudud sambil ngelus perut)
"Je, puisimu itu ya... kayak nasi goreng mercon. Pedesnya bukan di mulut, tapi di tagihan semester."

GARENG ๐ŸงŸ‍♂️ (matanya merah karena kurang tidur, tapi katanya demi mimpi)
"Aku lulus kuliah, Je. Tapi hidupku tetap skripsi: direvisi terus sama keadaan."

BAGONG ๐Ÿท (lagi ngitung duit receh untuk bayar parkir kampus)
"Lha aku malah kuliah gratis beneran! Cuma bayar pake nyawa, hati, dan masa depan."

JEFFRIE GERRY (Japra) ๐Ÿง™‍♂️ (duduk di pojok dengan laptop yang baterainya cuma 5%)
“Saudara-saudaraku lintas galaksi, memang gratis itu relatif… tergantung siapa yang jual narasi.”


๐Ÿ“š๐Ÿ” Potongan Monolog Konyol & Epik Dari Puisi Sebelumnya

PETRUK
"Aku baca tuh puisimu. Bagian wisuda online bayar enam ratus ribu,
padahal cuma nerima PDF—itu tuh... bener-bener kritik yang jleb."
(Petruk pun terdiam sebentar, lalu bersin karena debu dari tumpukan proposal beasiswa yang gagal lolos.)

GARENG
"Dan yang soal kuota belajar! Lha itu aku ngalamin.
Bantuan kuota turun, tapi cuma cukup buat buka Google Form.
Streaming video? Halah, buffering-nya aja bisa bikin kita merenung soal hidup."

BAGONG
"Bagian paling keren? Itu pas si Menteri jawab: ‘Bukankah sudah ada YouTube?’
Je, itu satire paling lezat, kayak sambal yang pedesnya nggak ilang walau udah minum es kelapa."


๐Ÿค–๐Ÿงพ Parodi Pendaftaran Mahasiswa Baru di Konoha Kampus

Disponsori oleh Bank Utang Sambil Senyum™ dan Asuransi Masa Depan Abu-abu™

  • “Biaya masuk? GRATIS!” ๐Ÿฅณ

  • “Cuma isi formulir Rp350.000” ๐Ÿงพ

  • “Beli seragam Rp800.000 (wajib, walau kuliah online)” ๐Ÿ‘•

  • “Uang pengembangan fasilitas: Rp5 juta (fasilitas hanya ada dalam imajinasi)” ๐Ÿ—️

  • “Kartu identitas mahasiswa? Cuma Rp125.000, sudah termasuk foto latar merah & rasa malu.” ๐Ÿชช


๐Ÿ“–๐Ÿ“‰ Dialog Tambahan: Skenario di Kelas Kosong Tapi Penuh Beban

GARENG (mimisan karena presentasi PowerPoint gagal buka)
“Pak, presentasi saya rusak karena file-nya corrupt.”
DOSEN (via hologram 2D)
“Jangan salahkan sistem, salahkan usaha kamu.”
PETRUK (bisik-bisik ke Bagong)
“Sistemnya rusak, malah kita yang disuruh install ulang semangat.”


๐Ÿ”๐ŸŽข Paradoks dan Sirkus Akademik

JEFFRIE
“Di kampus Konoha, mahasiswa diajarkan berpikir kritis,
lalu ditendang keluar kalau mulai bertanya kenapa uang pertemuan daring lebih mahal dari nasi bungkus.”

BAGONG
“Eh iya! Kenapa sih seminar daring biayanya setara motor bekas?
Padahal isinya slide yang kita bisa googling sendiri.” ๐Ÿ›ต


๐ŸŽญ๐ŸŽช Teater Mini: Debat Kusir Tugas Akhir

PETRUK
“Skripsiku tentang peran negara dalam pendidikan.”
GARENG
“Akhirnya dapet apa?”
PETRUK
“Revisi Bab 3 dan depresi ringan.”
BAGONG
“Aku malah bikin Tugas Akhir tentang pentingnya minum kopi sambil meratap.”
JEFFRIE
“Kamu lulus?”
BAGONG
“Lulus sih… lulus dari harapan.”


๐Ÿ“ฆ๐Ÿ“œ Kutipan Filosofis Ala Warung Kopi Absurd

“Ilmu pengetahuan adalah cahaya… tapi stop kontaknya dikuasai sponsor dan pihak ketiga.” ⚡
“Murid pinter dihargai, asal jangan terlalu sadar.” ๐Ÿง 
“Pendidikan gratis itu nyata… seperti pelangi yang hanya bisa dilihat saat kita berhenti bayar listrik.” ๐ŸŒˆ


๐Ÿงจ๐Ÿš€ Bagian Buas: Ijazah, Utang, dan Gaji Magang

PETRUK
“Aku ngutang buat bayar semester terakhir.”
GARENG
“Sama, aku ambil KTA demi ujian.”
BAGONG
“Lalu setelah lulus, kita dapat gaji magang yang cukup untuk beli... 3 gorengan dan satu teh tawar.”
JEFFRIE
“Itu pun kalau HRD-nya nggak bilang: ‘Kamu overqualified, tapi belum punya pengalaman kerja’.”


๐Ÿ›ธ๐Ÿ“ก Interupsi dari Satelit Galaksi Samsoeng

๐Ÿ“ข Breaking News:
“Kampus Terbaik di Konoha mengumumkan akan menaikkan biaya semester,
karena katanya ‘untuk digitalisasi fasilitas’—yang artinya beli AC baru buat ruang dosen.” ๐Ÿฅถ


๐ŸŽฌ Epilog Kocak Tapi Menohok:

Mereka menatap senja ungu Planet Belgedes.
Secangkir kopi dingin,
hati yang hangat oleh tawa dan kepahitan hidup.

JEFFRIE
"Kalau pendidikan memang hak,
kenapa rakyat harus merasa seperti maling setiap kali nuntut haknya?"

PETRUK
“Karena di negeri ini, menuntut ilmu lebih sulit daripada menuntut keadilan.”
GARENG
“Dan yang gratis itu cuma mimpi.”
BAGONG
“Atau sarkasme, kayak puisi si Japra ini.”


๐Ÿ“ข Ajakan Absurd Penuh Makna

๐ŸŒ€ Sebarkan obrolan absurd ini ke seluruh galaksi!
๐ŸŽญ Tag temanmu yang pernah bayar seminar Rp200k cuma buat foto bareng narasumber.
๐Ÿ“š Jadikan bahan diskusi: Apakah ilmu masih layak dicari, atau cukup ditonton di TikTok?

Raja nganjuk,kaisar utang,juara kredit

 


๐Ÿช™ Judul: "Negeri Kredit: Monarki Cicilan dan Utang yang Bertahta"

Pengantar: Di negeri para pengutang, tahta bukan diwariskan, tapi dicicil. Kemewahan dibangun dengan limit kartu, dan rakyatnya berdoa kepada bunga berbunga.

Karya Pengembara Hidup dan Pujangga Digital: Jeffrie Gerry (Japra)


Puisi Satir: "Negeri Kredit: Monarki Cicilan dan Utang yang Bertahta"

Selamat datang di Negeri Ngap-ngapan, Tempat Raja Nganjuk naik tahta dari mesin ATM, Disambut genderang notifikasi tagihan, "Selamat, Anda disetujui! Tapi tidak diselamatkan."

Ia duduk di singgasana dari lembar tagihan, Bertahtakan kartu platinum dan janji manis leasing, "Hidup adalah paylater yang terus tertunda," katanya, Sambil mengusap janggut bunga berbunga.

Rakyatnya? Bangga dalam antrean pengajuan, Mereka tak pernah kaya, tapi merasa mampu. "Cicilan ringan, beban berat!" jadi semboyan, Bergema di spanduk diskon dan iklan cicilan 0%.

Di sana ada Kaisar Utang, Dikenal mulia karena pinjaman online-nya banyak. Dahi berkerut, tapi wajah bersinar, Pakai sepatu mahal hasil 48x angsuran.

"Hidup tanpa utang itu fana!" pekik sang kaisar, Ia bersabda di mimbar podcast finansial, "Lunasi jiwamu dengan tenor yang panjang, Tapi jangan pernah bayar lunas pikiranmu."

Juarakredit pun datang menunggangi motor cicilan, Pahlawan TikTok, penyelamat Shopee PayLater, Followersnya jutaan, tabungannya nihil, Tapi wajahnya terpampang di billboard harapan semu.

Ia berkisah tentang perjuangan hidup: "Gue dulu miskin, sekarang... masih, tapi gaya!" Bajunya branded dari hasil pinjam dulu beli nanti, Dan rakyat meneteskan air mata... pinjaman.

"Kita harus bekerja keras," katanya bangga, "Untuk membayar bunga yang tak kita tanam."

Ada parade bulanan di kota utopia, Arak-arakan tagihan, musik dari suara notifikasi, Peti-peti berisi invoice dilayat dengan bunga duka cita, Dan kartu kredit disalib di altar pengampunan kasir.

Bank jadi kuil, debt collector adalah imam, Mereka tak melempar kutukan, hanya pengingat jatuh tempo, "Kami di sini bukan menghakimi, hanya mengingatkan" Senyumnya selembut angka denda keterlambatan.

Anak-anak sekolah belajar menabung dengan utang, "Nanti kamu beli rumah? Tenor 30 tahun aja!" Guru mengajar: "Rasio utang lebih penting dari etika." Moral ditukar dengan cicilan karakter.

Di media sosial, raja livestream soal investasi, "Beli saham? Ah, gue beli HP baru dulu deh!" Influencer keuangan dipuja karena trik menunda bayar, "Menunda kenyataan adalah bentuk kebebasan." katanya.

Di dapur istana, menteri keuangan bikin kebijakan, "Subsidi bunga lebih penting dari pendidikan," Anak-anak bertumbuh dengan gizi promo, Vitamin diskon, protein janji cashback.

Dan setiap minggu, Raja Nganjuk pidato: "Kita makmur... dalam persepsi!" Gelak tawa bergema seperti alarm pinjaman, Dan rakyat pun menyukai postingannya sambil gelisah.

Para pujangga zaman ini tak menulis sajak cinta, Mereka membuat thread cara utang bijak, "Cicil perasaanmu, jangan semuanya sekaligus, Nanti sakit hati... kena bunga emosi."

Ada ironi di taman bunga utang, Tempat pasangan pacaran sambil hitung cicilan, "Sayang, kalau kita nikah nanti, siapa yang bayarin KPR?" "Tuhan pasti kasih jalan... asal limitnya naik."

Setiap bayi lahir dapat akta kelahiran dan brosur pinjaman, "Selamat datang di dunia! Ini brosur DP rumah dan stroller." Bayi menangis bukan karena lapar, tapi karena utang turun temurun.

Di hari ulang tahun negara, parade digelar: Dimeriahkan oleh parade cicilan mobil, Lagu kebangsaan dinyanyikan dengan nada minor, "Indonesia... tanah air... leasing..."

Ada museum ekonomi berisi bon-bon sejarah, "Inilah bukti kejayaan kredit bangsa!" Pengunjung terharu melihat slip gaji leluhur yang tak pernah cukup, Dan surat cinta: "Maaf, pinjaman Anda ditolak."

Raja Nganjuk akhirnya menua di istananya yang disita, Dikelilingi anak-anak muda yang belum punya rumah, Tapi punya 12 aplikasi pinjaman, Dan satu mentalitas: hidup adalah utang yang diromantisasi.

Dalam monolog terakhirnya ia berkata: "Aku tak pernah ingin jadi raja, Tapi hutang membuatku berjaya... lalu menelan semuanya."

Ia wafat dalam status: "Menunggak 3 bulan." Dikubur dengan kartu kredit di dada, Dan nisan bertuliskan: "RIP: Raja Nganjuk, pahlawan cicilan tanpa bunga surga."


Refleksi Penutup

Puisi ini adalah gambaran distopia ekonomi konsumtif yang dibungkus dalam satir dan ironi. Sindiran ditujukan kepada budaya masyarakat yang mulai mengagungkan utang sebagai gaya hidup, melupakan nilai kerja keras dan pengelolaan keuangan sehat. Ini bukan hanya tentang individu, tapi sistem yang membentuk mentalitas “lebih baik tampil kaya daripada hidup tenang.” Pesan moralnya jelas: bijaklah dalam mengelola uang, hargai kejujuran finansial, dan mari bangun masyarakat yang tidak lagi jadi budak bunga berbunga. Saatnya berbuat baik, membantu sesama, dan tidak menilai orang dari limit kreditnya, tapi dari integritasnya.

๐Ÿช™ Judul: "Ngopi Cicilan di Pojok Ngutang: Obrolan Konyol Semar & Kawan-Kawan di Konoha yang Bangkrut"

Pengantar: Di Planet Belgedes, di sebuah warung kopi pojokan, utang jadi candaan, tapi juga kenyataan. Mari tertawa getir bersama Semar, Petruk, Gareng, Bagong, dan Jeffrie Gerry di galaksi penuh bunga... bunga keterlambatan.

Karya Pengembara Hidup dan Pujangga Digital: Jeffrie Gerry (Japra)


Puisi Satir Dialogal: "Ngopi Cicilan di Pojok Ngutang"

☕️ Warung Pojok Ngutang, jam 9 malam waktu Konoha Selatan.

๐ŸŒŒ Galaxy Samsoeng mulai dingin, bulan memantulkan cahaya dari layar smartphone yang nyicil.

Semar: "Wis tak bilang, utang itu kaya mie instan. Cepet, panas, kenyang sebentar, lalu bikin mencret pikiran. ๐Ÿ’ฉ"

Gareng: "Tapi enak, Mar... Aku kemarin beli sandal bersuara Bluetooth. Ada cicilannya 24x!"

Bagong: "Aku malah daftar pinjol buat beli gorengan. Lha wong ada cashback 2%! ๐Ÿค‘"

Petruk: "Nggak salah sih, tapi kalian sadar gak? Sekarang semua nyari bahagia lewat belanja, bukan lewat bernafas."

Jeffrie Gerry: "Di negeri ini, kartu kredit lebih dipercaya daripada kartu keluarga. ๐Ÿงพ"

Semar menghela napas, lalu menyeruput kopinya yang dibayar pake scan QR dari aplikasi yang masih utang juga. *

Semar: "Zaman makin edan. Wong-wong ora adol sawah, tapi adol jiwa ke sistem cicilan."

Bagong: "Tapi tenan, aku liat anak SMP udah ngerti tenor, tapi gak ngerti tenor suara Indonesia Raya. ๐Ÿ‡ฎ๐Ÿ‡ฉ"

Petruk: "Anak sekarang pacaran bukan tanya 'kamu sayang aku?', tapi 'limitmu berapa? ๐Ÿฅฒ'"

Gareng: "Kalo dulu, cinta diuji waktu. Sekarang diuji DP."

Jeffrie Gerry: "Tadi pagi aku nulis puisi tentang Raja Nganjuk, Kaisar Utang, dan Juarakredit. Sekarang malah kayak kuliah ekonomi absurd!"

Semar: "Eh-eh, tak bacain ulang puisi-mu ya! Tapi pakai gaya wayang. Ahem!"

๐Ÿ“œ Semar berdiri, mengangkat tangan seperti dalang galaksi.

"Raja Nganjuk duduk di singgasana tagihan, Diselimuti faktur, dimandikan bunga pinjaman. Ia bersabda: 'Utang adalah seni mencintai hari ini dan membenci besok pagi!'"

Bagong: "Wah itu dalem banget, Mar... kayak mangkok mie rebus tiga rasa! ๐Ÿœ"

Gareng: "Tapi ya bener juga. Kita hidup dalam budaya 'punya dulu, mikir nanti'."

Petruk: "Negara Konoha sekarang berubah: ninja-ninja pensiun dan jadi debt collector. Shuriken diganti SP surat peringatan. ๐Ÿ’Œ"

Jeffrie Gerry: "Bahkan Hokage ke-17 gak dipilih karena kuat, tapi karena punya skor kredit A++."

Semar: "Semua ingin jadi raja... tapi yang dibangun bukan kerajaan, melainkan keranjang belanja."

Bagong: "Mending jadi rakyat jelata tapi bebas dari cicilan, daripada jadi sultan virtual tapi ngutang pulsa. ๐Ÿ“ต"

๐ŸŒ€ Tiba-tiba warung bergetar...

Narator Suara Galaksi: "Perhatian! Promo baru: cicilan tanpa rasa bersalah selama 0 bulan pertama! ๐Ÿ›ธ"

Gareng: "Lha kok suara iklan bisa masuk ke warung kopi?!"

Petruk: "Karena semua sudah terhubung... bahkan mimpi kita diiklani!"

Semar: "Anak-anakku, kita harus bertanya: apakah kita hidup, atau sekadar menyicil kehidupan?"

Jeffrie Gerry: "Puisi ini bukan sekadar parodi. Ini realita. Distopia yang disajikan dengan susu kental manis dan cicilan 12x."

☕️ Mereka terdiam sebentar. Hanya suara kipas dan notifikasi pinjaman yang bersahut-sahutan.

Bagong: "Eh, kalau aku nanti mati, tulis di nisanku: 'Jangan bangunin aku sebelum semua lunas.' ⚰️๐Ÿ’ณ"

Gareng: "Aku pengen kuburan yang bisa auto debit buat bayar bunga kehidupan selanjutnya."

Petruk: "Apa di akhirat juga ada BI Checking, ya?"

Semar: "Tenang. Di akhirat yang penting amal, bukan Shopee PayLater."

๐Ÿ“š Mereka mulai menulis puisi baru, di tisu warung, di notepad HP, di dinding galaksi.

"Tuhan memberi rezeki, tapi manusia memotongnya dengan margin pinjaman. Malaikat mencatat amal, bank mencatat skor. Neraka bukan api, tapi call center yang terus menagih." ๐Ÿ”ฅ๐Ÿ“ž

Jeffrie Gerry: "Saatnya bangun, teman-teman. Tapi bukan bangun rumah lewat KPR 40 tahun. Bangun kesadaran."

Semar: "Mari kita pulang. Tapi jangan lewat pintu kasir. Lewat pintu kesadaran."

๐Ÿ›ธ Mereka naik motor galaksi, helm dicicil, tapi harapan mulai lunas.


Refleksi Penutup

Obrolan absurd di Warung Pojok Ngutang menggambarkan kegilaan dunia yang perlahan melupakan nilai sejati kehidupan. Dengan gaya konyol dan satire, dialog para tokoh menjadi cermin kebudayaan absurd: konsumtif, penuh utang, tapi tetap ingin terlihat bahagia. Sindiran ini bukan sekadar lucu, tapi juga penuh perenungan: saatnya hidup dengan kesadaran, bukan sekadar memenuhi tagihan. Mari saling mengingatkan, menolong sesama, dan menghargai hidup yang sederhana namun merdeka dari cicilan.

๐Ÿš€๐Ÿ™๐Ÿ’ฌ #PojokNgutang #PuisiDistopia #SemarGagalBayar