Friday, February 28, 2025

Anarkis di Planet Yeow: Ketika Semua Orang Menjadi Presiden

 


Ini adalah ilustrasi dari Planet Yeow, di mana semua orang menjadi presiden dan kekacauan terjadi di mana-mana.

Anarkis di Planet Yeow: Ketika Semua Orang Menjadi Presiden


๐Ÿ“‘ Daftar Isi

  1. Pendahuluan

  2. Latar Belakang Planet Yeow dan Negara Ouch

  3. Fenomena "Semua Orang Menjadi Presiden"

  4. Analisis Penyebab Kekacauan

  5. Studi Kasus: Kehidupan Sehari-hari di Negara Ouch

  6. Contoh Praktis: Bagaimana Menghadapi Anarki di Planet Yeow

  7. Kesimpulan

  8. Penutup

  9. Ajakan Positif

  10. Evaluasi 



1️⃣ Pendahuluan

Bayangkan sebuah dunia di mana setiap orang bisa menjadi presiden. Tidak ada aturan, tidak ada hierarki, dan semua orang merasa berhak memimpin. Kedengarannya seperti mimpi demokrasi yang sempurna, bukan? Tapi, di Planet Yeow, khususnya di negara Ouch, fenomena ini justru menciptakan kekacauan yang tak terbayangkan.

Artikel ini akan membawa Anda menjelajahi kehidupan di Planet Yeow, di mana anarki merajalela, dan setiap warga negara Ouch merasa dirinya adalah presiden. Kita akan mengupas tuntas latar belakang, penyebab, dan dampak dari fenomena unik ini. Siapkan diri Anda untuk tertawa, terkejut, dan mungkin sedikit khawatir tentang apa yang terjadi ketika semua orang ingin menjadi pemimpin.



2️⃣ Latar Belakang Planet Yeow dan Negara Ouch

Planet Yeow terletak di Galaxy AUO, sebuah galaksi yang terkenal dengan keanekaragaman budaya dan sistem pemerintahannya yang unik. Di antara banyak negara di Planet Yeow, negara Ouch menonjol karena sistem pemerintahannya yang benar-benar berbeda.

Negara Ouch didirikan oleh sekelompok ilmuwan yang percaya bahwa hierarki dan kepemimpinan adalah sumber dari semua masalah. Mereka menciptakan sistem di mana setiap warga negara memiliki hak yang sama untuk memimpin. Namun, alih-alih menciptakan utopia, sistem ini justru menghasilkan anarki total.



3️⃣ Fenomena "Semua Orang Menjadi Presiden"

Di negara Ouch, setiap warga negara secara otomatis dianggap sebagai presiden. Tidak ada pemilu, tidak ada kabinet, dan tidak ada aturan yang mengikat. Setiap orang bisa mengeluarkan keputusan, mengumumkan kebijakan, atau bahkan mendeklarasikan perang (meskipun tidak ada yang mau mendengarkan).

Contohnya, pada suatu hari, seorang warga bernama Zog mengumumkan bahwa semua kentang di negara Ouch harus dipakai sebagai alat pembayaran yang sah. Sementara itu, warga lain bernama Lila memutuskan bahwa semua orang harus memakai topi berbentuk ikan setiap hari Jumat. Hasilnya? Kekacauan total.



4️⃣ Analisis Penyebab Kekacauan

Mengapa sistem ini gagal total? Berikut beberapa penyebabnya:

a. Kurangnya Koordinasi

Dengan setiap orang menjadi presiden, tidak ada yang bertanggung jawab untuk mengkoordinasikan kebijakan. Setiap keputusan saling bertentangan, dan tidak ada yang bisa disepakati.

b. Ego yang Tinggi

Setiap warga negara Ouch merasa bahwa ide mereka adalah yang terbaik. Tidak ada ruang untuk kompromi atau kerja sama.

c. Tidak Ada Mekanisme Penegakan Aturan

Tanpa polisi, pengadilan, atau lembaga penegak hukum, tidak ada yang bisa mencegah seseorang dari mengeluarkan keputusan yang merugikan orang lain.



5️⃣ Studi Kasus: Kehidupan Sehari-hari di Negara Ouch

Mari kita lihat bagaimana kehidupan sehari-hari di negara Ouch:

a. Transportasi

Setiap warga memiliki hak untuk menentukan jalur transportasi. Hasilnya? Jalan raya dipenuhi dengan rambu-rambu yang saling bertentangan. Ada yang mengarahkan ke kiri, ada yang ke kanan, dan ada yang meminta semua kendaraan berhenti dan menari.

b. Pendidikan

Setiap guru mengajar sesuai dengan keinginan mereka sendiri. Seorang guru matematika memutuskan bahwa 2 + 2 = 5, sementara guru lain mengajarkan bahwa angka tidak ada dan semua adalah ilusi.

c. Ekonomi

Dengan setiap orang bisa mencetak uang mereka sendiri, inflasi merajalela. Ada yang menggunakan kentang, ada yang menggunakan batu, dan ada yang menggunakan stiker sebagai alat pembayaran.



6️⃣ Contoh Praktis: Bagaimana Menghadapi Anarki di Planet Yeow

Jika Anda suatu hari terdampar di Planet Yeow, berikut beberapa tips untuk bertahan hidup:

a. Jangan Terlalu Serius

Di negara Ouch, segala sesuatu bisa berubah dalam sekejap. Jangan terlalu stres dengan keputusan-keputusan aneh yang dikeluarkan oleh warga lain.

b. Cari Aliansi

Temukan orang-orang yang memiliki visi yang sama dengan Anda. Bersama-sama, Anda bisa menciptakan semacam stabilitas di tengah kekacauan.

c. Gunakan Humor

Humor adalah senjata terbaik di Planet Yeow. Jika seseorang mengeluarkan keputusan yang aneh, tertawalah dan ajak mereka untuk melihat sisi lucunya.



7️⃣ Kesimpulan


Fenomena "Semua Orang Menjadi Presiden" di Planet Yeow adalah contoh ekstrem dari apa yang terjadi ketika hierarki dan aturan dihilangkan sepenuhnya. Meskipun ide ini terdengar menarik, pada kenyataannya, hal ini justru menciptakan kekacauan yang tak terkelola.



8️⃣ Penutup

Planet Yeow dan negara Ouch mengajarkan kita bahwa kepemimpinan dan aturan memiliki peran penting dalam menciptakan stabilitas. Tanpa itu, kita hanya akan terjebak dalam anarki dan kebingungan.



9️⃣ Ajakan Positif

Bagaimana pendapat Anda tentang fenomena ini? Apakah Anda bisa membayangkan hidup di dunia di mana setiap orang adalah presiden? Bagikan pemikiran Anda di kolom komentar dan mari kita diskusikan bersama!


๐Ÿ”Ÿ Evaluasi

  1. Apa yang menjadi penyebab utama kekacauan di negara Ouch?

  2. Bagaimana Anda akan bertahan hidup jika terdampar di Planet Yeow?

  3. Apakah Anda setuju dengan sistem "Semua Orang Menjadi Presiden"? Mengapa?


Dengan artikel ini, Anda tidak hanya mendapatkan wawasan unik tentang kehidupan di Planet Yeow, tetapi juga refleksi tentang pentingnya kepemimpinan dan aturan dalam masyarakat. Selamat membaca, dan jangan lupa untuk berbagi cerita ini dengan teman-teman Anda!

Lima Sila di Keranjang Belanja: Diskon 75% Sampai Habis Kesadaran

 


๐Ÿ’ฌ Pengantar Pendek:

"Negara katanya berdiri atas dasar Pancasila. Tapi hari ini, sila pertama pun ikut di-checkout saat Harbolnas."
Karya Pengembara Hidup: Jeffrie Gerry (Japra)


๐Ÿงพ "Lima Sila di Keranjang Belanja"

(Monolog seorang rakyat yang tersesat di lautan e-commerce)

I. Sila Pertama: Ketuhanan Yang Maha Transfer
Tuhan kini punya rating bintang empat koma dua,
"Respon seller lambat, doa saya tertunda."
Akun surga dijual di marketplace,
Ada promo "Buy 1 Pray 5 Get Heaven Free."
Yang penting checkout sebelum ajal datang,
Asal pakai voucher iman dan bebas ongkir dosa.

Di masjid, gereja, pura—
Wifi lebih kencang dari bisikan nurani.
Ketuhanan kami ada di swipe up dan click bait,
Bukan di sunyi hati yang merenung.
Sekarang Tuhan ikut tren digital:
Langit pakai cloud, berkat kirim via email spam.

II. Sila Kedua: Kemanusiaan yang Adil Buat yang Checkout Cepat
"Manusia semua sama, kecuali kamu pakai iPhone seri lama."
Senyuman diganti emotikon,
Empati dikurir via ekspedisi express.
Kemanusiaan ada di paket amal—
Dikirim saat banjir, difoto, lalu di-post.
Lalu scroll, lalu lupa.

Anak-anak Papua butuh sinyal dan perhatian,
Tapi trending malah tentang artis putus cinta.
Keadilan?
Oh, itu cuma flash sale yang cepat habis.
Si miskin antri bansos,
Si kaya live streaming sambil buka paket.

III. Sila Ketiga: Persatuan Indonesia Versi Tokopedia
Persatuan kami dikurasi algoritma.
Satu nusa, satu bangsa,
Satu seller favorit di Jakarta Barat.
Kami tak berpecah karena agama,
Tapi karena diskon beda 5 ribu di dua toko yang sama.

Bendera dijual,
Garuda dicetak di tote bag,
NKRI Harga Mati (Kecuali Kalo Ada Promo Gede-Gedean).
Kami bersatu dalam checkout bareng,
Dan pecah belah dalam review bintang satu.

IV. Sila Keempat: Kerakyatan yang Dipilih Berdasarkan Like dan Subscribe
Rakyat bersidang di kolom komentar,
Setiap keputusan diambil lewat polling Instagram.
Wakil rakyat kami endorse skincare,
Bicara tentang UU sambil unboxing.

"Musyawarah mufakat" artinya rapat Zoom yang ngelag,
Tapi setuju karena bosan,
Asal bisa cepat balik tidur.

Wakil-wakil kami bukan dari rakyat,
Tapi dari mereka yang bisa trending tiga hari berturut.
Kerakyatan kami tergantung sinyal dan kuota—
Tak ada sinyal, tak ada demokrasi.

V. Sila Kelima: Keadilan Sosial Bagi Semua Akun Premium
Keadilan hanya untuk member Gold.
Yang gratisan: sabar ya, pesananmu delay.
Harga BBM naik,
Tapi influencer liburan ke Dubai tiap minggu.

Keadilan sosial kini berbasis algoritma:
Kalau sering beli, baru dapat diskon keadilan.
Orang-orang di desa butuh puskesmas,
Tapi yang dibangun malah mall baru.

Subsidi diberikan kepada yang bisa bayar pajak,
Yang benar disensor,
Yang palsu dapat centang biru.
Dan rakyat?
Dibungkus rapi dalam plastik gelembung
Lalu dikirim ke masa depan yang kabur.


๐Ÿชž Refleksi Penutup:

"Pancasila Versi Toko Online" ini adalah cermin retak dari realitas sosial yang absurd:
dimana nilai luhur dibungkus bubble wrap komersialisme,
dan idealisme dijual grosiran selama Harbolnas.

Sindiran ini menyasar kita semua—
Rakyat yang lupa makna sila,
Elit yang mengemas janji dalam paket palsu,
Dan algoritma yang kini lebih dipercaya dari nurani.

Pesan moralnya sederhana namun pahit:
Jika Pancasila hanya jadi caption promo,
Maka bangsa ini tinggal menunggu waktu
Untuk benar-benar kehabisan "stok kesadaran".



๐Ÿ’ฌ Pengantar Pendek:

"Di negeri kami, sila-sila bukan lagi dasar negara. Tapi tombol-tombol checkout—yang menentukan siapa manusia, siapa algoritma."
Karya Pengembara Hidup: Jeffrie Gerry (Japra)


๐Ÿงพ Checkout Suci di Negeri Lima Sila

I. Sila Pertama: Ketuhanan Yang Maha Cashback

Tuhanku kini punya akun verified,
Bio-nya: “Pencipta Langit & Promo Tiap Jumat Berkah.”
Dulu Dia disembah,
Kini di-tag tiap mau naik gaji.
Dulu doa naik ke langit,
Sekarang harus lewat CS—dengan keluhan tertulis dan bukti transaksi.

Salat lima waktu?
Terganggu notifikasi Flash Sale.
“Ya Tuhan, aku bersujud... tapi sinyalku hilang, maaf.”
Kidung suci terganti backsound TikTok,
Mazmur ditelan diskon bundling “Doa & Jodoh.”

Lalu kita cipta agama baru:
Tuhan = diskon besar,
Surga = pengiriman instan,
Iman = kode voucher.

Kita puasa dari logika,
Lapar pada validasi,
Haus oleh likes,
Dan berbuka dengan candu konten.

II. Sila Kedua: Kemanusiaan yang Adil dan Bisa Diretur

Sila kedua kini pakai size chart,
Kalau terlalu miskin, "Maaf, ukuran kamu kosong."
Kemanusiaan jadi katalog:
Wajah senyum, harga murah,
Tapi isi: plastik empati dan bumbu pura-pura.

Kami tonton bencana via livestream,
Sambil makan popcorn digital.
"Kasihan ya korban banjir," kata netizen,
Lalu lanjut lihat konten prank pocong.

Yang lapar hanya dapat sticker.
Yang sakit disarankan beli vitamin lewat afiliasi.
Yang mati?
Dijadikan konten "Motivasi Hidup."

Kemanusiaan dijual dalam paket bundling:
Amal + Branding + Upload = Surga Versi Editor.
Si kaya bersedekah demi konten,
Si miskin bersyukur demi bertahan.

III. Sila Ketiga: Persatuan dalam Checkout Bersama

Persatuan kami kini bernama Fitur Group Buy.
Satu keranjang, banyak utang.
Satu bangsa, satu paket nyasar.

Negeri ini tak dibangun di atas perjuangan,
Tapi rating seller dan review jujur.
Kami tidak bersatu dalam cita-cita,
Tapi dalam rebutan diskon ongkir.

NKRI?
Netizen Kompak Review Item.
Bhineka Tunggal Ika?
Beragam barang, satu platform.
Garuda?
Burung pengantar logistik.

Lagu kebangsaan kami adalah jingle promo.
Bendera kami bergaris barcode.
Dan sumpah pemuda telah diganti:
“Satu harga, satu keranjang, satu tujuan: COD!”

IV. Sila Keempat: Demokrasi yang Diatur Oleh Algoritma

Pemimpin kami sekarang adalah trending topic.
Kursi kekuasaan diduduki oleh konten kreator.
Debat publik?
Terganti challenge dance dan roast battle.

Musyawarah mufakat?
Sudah punah—digantikan fitur voting.
Kebijakan ditentukan dari polling story 24 jam.
Hukum disusun dari kompilasi komentar terbanyak.

Dewan rakyat kini pakai ringlight.
Rapat anggaran sambil unboxing.
Keputusan negara tergantung Wi-Fi dan lighting.
Jika koneksi putus, hukum pun delay.

Rakyat?
Dipaksa follow.
Kalau tak setuju?
Silakan lapor ke admin, jangan lupa screenshoot.

V. Sila Kelima: Keadilan Sosial yang Hanya Berlaku Saat Promo

Keadilan sosial kini punya level:
Basic, Silver, Gold, dan Diamond.
Semakin elite, semakin cepat proses hukum.
Semakin miskin, semakin banyak captcha.

Rakyat kecil tak butuh mimpi besar—
Mereka cuma ingin paket datang tepat waktu.
Tapi pemerintah sibuk endorse NFT,
Dan launching aplikasi dengan fitur error yang nasionalis.

Keadilan adalah barang langka,
Hanya restock saat pemilu.
Harga BBM naik,
Tapi diskon janji kampanye tetap besar.

Sekolah rusak,
Tapi baliho caleg megapiksel.
Anak desa belajar dari sisa sinyal.
Tapi elite belajar cara tersenyum di kamera.

Kami dijanjikan kemerdekaan,
Tapi dikirim paket ketergantungan.
Kami disuruh cinta tanah air,
Tapi disuruh bayar pajak untuk tanah yang kami pijak sendiri.


๐Ÿชž Refleksi Penutup

Puisi ini bukan sekadar satire—ia adalah ledakan dalam kepala bangsa yang kini hidup di balik layar,
terlena dalam kenyamanan palsu dari keranjang belanja dan algoritma yang mengatur nasib.

Sindiran ini adalah lemparan batu ke jendela kaca palsu:
untuk para elite yang menjual nilai demi citra,
untuk rakyat yang lupa bertanya sebelum mencet tombol setuju,
dan untuk seluruh sistem yang lebih sibuk upgrade fitur daripada memperbaiki luka.

Pancasila—yang dahulu adalah darah dan air mata—
hari ini nyaris tinggal slogan di kemasan,
dikirim tanpa jaminan ke masa depan yang penuh return.

Thursday, February 27, 2025

Idealisme Dijual per Kilo


๐Ÿ“› Judul:

"Diskon 70% untuk Nurani yang Sudah Tak Laku"
(Gratis satu prinsip bila beli dua dosa, selama persediaan masih ada)


๐Ÿ–ผ️ Ilustrasi:

Silakan lihat gambar yang telah disediakan: seorang pria lelah menjajakan "Dijual Idealisme" di atas timbangan pasar — wajahnya kusut, tapi timbangan itu tetap adil, menghitung harga nurani per gram.


๐Ÿ“œ Pengantar Pendek:

"Idealisme kini bisa dibungkus pakai plastik kresek. Kalau agak amis, itu bukan hati nurani — cuma basi sedikit."
Karya Pengembara Hidup: Jeffrie Gerry (Japra)


๐Ÿ–‹️ Puisi Satir Monolog: “Diskon 70% untuk Nurani yang Sudah Tak Laku”


Selamat datang di kios kecil kami,
di antara gorengan janji dan rokok subsidi.
Silakan, Kak,
idealisme segar, baru dipanen dari kepala-kepala yang bosan mikir.

Mau yang setengah matang atau yang udah gosong?
Ada varian progresif panggang arang atau konservatif rasa bumbu micin.
Yang penting, semua cocok buat pesta demokrasi rasa mie instan.


Silakan dicium dulu baunya—
sedikit amis karena sudah lama disimpan
di freezer milik partai,
bersebelahan dengan daging aspirasi rakyat
yang ditunda kedaluwarsanya tiap musim kampanye.


Jangan salah,
dulu idealisme ini lahir dari rahim buku filsafat,
dengan air ketuban protes jalanan
dan tali pusar dari semangat membara.

Tapi maaf,
hari ini, ia hanya dijadikan topping
di atas pidato-pidato gaya retro,
yang diakhiri dengan salam tiga jari dan diskon pajak kendaraan.


Ada yang bertanya,
"Kenapa dijual, Bang?"
Saya jawab,
"Sebab kalau disimpan, ia berjamur di kepala,
dan menyesakkan hati yang kini lebih luas buat hipotek dan cicilan."


Ah,
dulu kami menyebutnya ‘integritas’.
Hari ini, lebih laku disebut ‘brand value’.
Logo palu arit sudah diganti QR Code,
dan bendera perjuangan dikonversi jadi banner endorse skincare kejujuran.


Bapak itu di pojok —
dulu dosen filsafat,
kini jadi influencer retorika,
memasarkan kebajikan dengan kode referral moral.


Ibu itu di sebelah —
mantan aktivis,
kini menanam saham di perusahaan yang dulunya dia demo.
"Yang penting, aku tetap cinta rakyat," katanya sambil menyeruput latte di lobi DPR.


Kami juga punya paket hemat:
➤ Satu kilo idealisme, gratis satu lembar amplop putih.
➤ Langganan prinsip tahunan: sekali bayar, bisa pura-pura konsisten seumur jabatan.


Timbangan ini tidak pernah bohong,
tapi mata yang menilai harga sering kabur—
apalagi bila disilaukan cahaya konferensi pers dan kilau pin emas dewan.


Apa kabar utopia?
Dia kini jadi selebgram,
dandanannya sopan,
tapi tiap caption-nya disponsori oligarki.


Cita-cita?
Ah, itu benda antik.
Bisa ditemukan di museum kepala mahasiswa tahun 1998.
Sekarang lebih laku jualan "cita-cita realistis":
punya villa, mobil dinas, dan followers loyal.


Tak perlu gelar doktor,
cukup gelar tikar di tepi kekuasaan.
Nyalakan api unggun dari koran tua
berisi janji-jani reformasi,
dan kita semua bisa panggang sosis kebenaran di atasnya.


Dengar baik-baik!
Mereka yang bicara tentang moral,
seringkali hanya menguji mikrofon.
Dan mereka yang mencela kemunafikan,
besok juga akan tanda tangan di proposal yang sama.


Aku pernah menolak proyek,
dulu.
Hari ini, aku hanya minta “konsultasi”.
Biar terdengar etis — dan tetap untung.


Kata orang,
idealismu tak bisa mengisi perut.
Aku jawab,
"Perut ini lebih kenyang ketika aku menolak makan dari uang kotor."
Tapi itu dulu.
Sekarang, idealisme cuma jadi side dish buat selera pragmatis.


Anakku tanya:
"Ayah, apa itu prinsip?"
Aku jawab,
"Itu sesuatu yang dulu Ayah banggakan.
Sekarang Ayah simpan di dompet,
buat jaga-jaga kalau moral sedang diskon besar-besaran."


Lucu ya?
Kita yang dulu berteriak lantang,
kini berbisik di ruang lobi.
Kita yang dulu menolak tunduk,
sekarang rebutan kursi paling empuk.


Ini bukan perubahan.
Ini mutasi moral —
dari manusia menjadi mesin tanda tangan,
dari nurani menjadi algoritma kepentingan.


Kawan-kawan lama kini jadi komisaris.
Mereka tersenyum sambil berkata:
"Dunia ini tak sehitam-putih itu, Bro."
Padahal yang mereka maksud:
"Abu-abu itu warna paling menguntungkan."


Banyak dari kami sudah tak lagi marah.
Kami hanya tertawa getir.
Sebab di negeri ini,
tertawa adalah cara paling elegan untuk tidak gila.


Puisi ini bukan untuk menyadarkan—
tapi untuk menggoda mereka yang masih punya sedikit sesal.
Ayo, sini.
Buka lemari idealismemu yang lama.
Kalau sudah lapuk,
kami bisa bantu kemas jadi produk fashion.



๐ŸŽญ Refleksi Penutup:

Puisi ini adalah sindiran telanjang atas fenomena menjamurnya kaum terpelajar, aktivis, dan pemilik moral tinggi yang rela menukar idealismenya demi kenyamanan, jabatan, atau popularitas. Ini bukan hanya tentang politik, tapi juga dunia pendidikan, aktivisme, bahkan spiritualitas. Siapa pun yang pernah memegang nilai, dan kini menjualnya dalam bentuk diskon berpola alasan pragmatis, menjadi sasaran puisi ini. Pesan moralnya sederhana: jika idealisme dijual per kilo, maka nurani kita hanya akan seberat promosi.


๐Ÿ“› Judul:

“Kepala Kosong, Harga Pas: Idealisme Siap Goreng!”
— Gratis cuci dosa, bayar pakai akun palsu —


๐Ÿ“œ Pengantar Pendek:

"Semua orang punya harga, tapi beberapa hanya butuh mic dan kursi empuk untuk lelangnya."
Karya Pengembara Hidup: Jeffrie Gerry (Japra)


๐Ÿ–‹️ Puisi Satir Monolog Versi 2


Tolong buka dompet dulu sebelum bicara soal hati.
Di sini, kami tak terima logika,
kami hanya terima transfer.
Idealismemu bagus, Bung —
tapi berapa kamu buka harganya?


Maaf,
kami bukan toko buku.
Kami toko jiwa.
Semua dijual:
Prinsip, idealisme, bahkan rasa malu.
Bungkusnya rapi, dilaminasi kutipan filsuf
tapi isinya?
Keringat penjilat dan air liur kesepakatan bawah meja.


Yang masih pegang prinsip,
kami anggap stok lama.
Obral besar,
karena sudah tak cocok pasar zaman.
Yang idealis itu bau tanah,
yang realistis —
bau parfum sponsor.


Dulu ada anak muda
teriak “revolusi!” di atas mimbar.
Hari ini dia duduk manis
pakai jas sponsor
dan senyum tiga lapis:
untuk Tuhan, kamera, dan investor.


Kita semua tahu,
bahwa kebenaran bisa dikemas.
Jadi podcast.
Jadi seminar.
Jadi endorsement.
Selama disisipkan tagar dan logo partai.
Jangan lupa disensor sedikit,
agar lebih gampang dicerna algoritma.


Ada yang bilang,
“Keadilan butuh suara.”
Saya jawab:
“Yang paling keras bukan yang paling benar,
tapi yang paling punya dana iklan.”


Mari kita buka peta moral bangsa:
Utara: Surga investor
Selatan: Laut retorika basi
Barat: Gunung konsesi tambang
Timur: Padang janji kampanye yang ditinggal hujan


Selamat datang di Republik Semu.
Tempat di mana idealisme dipakai untuk mendekor
pidato-pidato yang kosong seperti janji—
tapi tetap ditonton 10 juta views karena ada drama tangis.


Prinsip?
Itu semacam filter Instagram.
Dipakai saat perlu branding,
dilepas ketika sudah masuk panggung debat.


Pernah dengar suara nurani?
Kami rekam,
kami potong,
kami edit jadi jingle iklan
untuk produk sabun cuci otak edisi elite.


Kami punya paket bundling:
➤ Satu kilo idealisme, gratis baliho satu desa.
➤ Langganan prinsip mingguan, cocok untuk pemula.


Mau jadi aktivis?
Gampang.
Teriak, trending, tawar harga,
kemudian masuk komisaris.
Jangan khawatir.
CV bisa kami poles,
bio bisa kami ganti:
“Pernah melawan, kini membangun.”
(Ada catatan kaki kecil:
dana bangunnya dari siapa.)


Yang kamu lawan dulu,
kini duduk bersamamu satu meja,
makan nasi dari piring yang sama,
lalu tertawa:
“Dulu cuma main peran, Bro.”


Kita semua main peran, bukan?
Sebagian jadi pahlawan,
sisanya jadi figuran
dalam sinetron negara yang rating-nya naik
kalau ada kericuhan —
yang sengaja diskenariokan.


Jangan tanya “Apa kabar reformasi?”
Ia masih hidup,
tapi sedang dirawat di ruang tamu istana.
Dipasangi infus kompromi,
dan dibacakan dongeng oleh menteri-menteri pelukis mimpi.


Ada yang tanya:
"Kenapa kamu berubah?"
Saya jawab,
"Bukan saya yang berubah,
ini dunia yang terlalu mahal
buat ditempuh pakai idealisme."


Kita bisa beli semuanya hari ini.
Harga nurani ditentukan per pasar.
Kalau ramai isu HAM,
naik sedikit.
Kalau isu lingkungan?
Turun drastis —
karena hutan bisa ditebus pakai CSR.


Lucunya,
semua masih foto tangan ke dada
sambil caption: “Untuk rakyat.”
Padahal yang dipegang itu bukan hati —
tapi amplop logistik.


Saya ingat dulu menangis
melihat sahabat saya dipukuli
karena membela tanah rakyat.
Hari ini,
saya melihat dia memegang map proyek
dari tangan yang sama yang dulu menendangnya.


Itu bukan pengkhianatan, katanya.
Itu pertumbuhan.
(Ya,
dompetnya tumbuh.
Hatinya menyusut.)


Idealisme bukan lagi cahaya.
Ia jadi bahan bakar.
Untuk menyalakan kendaraan pribadi
yang diparkir di belakang Gedung Merah Putih.


Mau lucu?
Mereka bilang “Demi bangsa!”
sambil menyapu bersih
jatah bansos dan data pemilih.


Kalau hari ini kamu masih percaya
bahwa perubahan datang dari suara,
maka izinkan aku menjualmu
satu dus mimpi,
edisi terbatas,
berisi kata-kata mutiara yang tak berpengaruh sama sekali
di rapat anggaran.


Saya tidak sinis.
Saya hanya kenyang.
Karena terlalu sering menelan
omong kosong yang dibungkus pakai kertas konstitusi.


Dan saya tahu —
kau pun sama.
Kita semua tahu rasanya:
Ketika bicara jujur terasa ketinggalan zaman,
dan kemunafikan menjadi kompetensi utama.


Bung,
kalau idealisme masih kau genggam,
maka berhati-hatilah.
Banyak yang akan memelukmu
hanya untuk mencuri isi kepalamu.
Lalu menjualnya,
tanpa menyebut namamu di konferensi pers.


Dan bila suatu hari
kau lelah menjelaskan
kenapa kamu masih bertahan pada prinsip,
jangan sedih.
Kau bukan kalah.
Kau hanya tidak sedang dalam diskon.



๐ŸŽญ Refleksi Penutup:

Puisi ini adalah potret liar tentang pergeseran nilai dalam masyarakat yang katanya demokratis tapi praktiknya transaksional. Idealisme, yang dulu jadi tulang punggung gerakan perubahan, kini hanya dianggap komoditas murah — diperjualbelikan dengan bungkus moral, tapi niat kosong. Sindiran ini menyasar siapa pun yang pernah bersumpah untuk rakyat, tapi kemudian memilih tender, kursi, dan tepuk tangan palsu. Pesannya jelas: jangan sampai kau jadi murah, hanya karena semua orang di sekitarmu sedang obral nurani.




Tuesday, February 25, 2025

Revolusi Kosmis: Ketika Ouch Menjual Demokrasi dengan Diskon 70%

 


Berikut adalah ilustrasi yang menggambarkan suasana di Planet Yeow, di mana demokrasi dijual dengan diskon besar-besaran. Kota futuristik ini penuh dengan iklan neon yang mempromosikan "Diskon Demokrasi" dan "Beli Satu, Dapat Satu Suara Gratis". Warga menggunakan mesin pemungutan suara digital yang menyerupai kios belanja, sementara sebuah billboard besar menampilkan seorang mantan influencer sebagai pemimpin terpilih dengan slogan "Semakin Banyak Vote, Semakin Happy!". Gambar ini menyampaikan nuansa satir yang menggambarkan absurditas demokrasi yang diperjualbelikan.

Revolusi Kosmis: Ketika Ouch Menjual Demokrasi dengan Diskon 70%

Daftar Isi

  1. Pendahuluan – Latar belakang fenomena penjualan demokrasi di Ouch.

  2. Demokrasi sebagai Produk Diskon – Bagaimana Ouch mengemas demokrasi sebagai komoditas.

  3. Studi Kasus: Pesta Demokrasi Murah Meriah – Contoh nyata dari transaksi politik di Planet Yeow.

  4. Konsekuensi Penjualan Demokrasi – Dampak terhadap masyarakat dan sistem politik.

  5. Contoh Praktis: Cara Mencegah Diskon Demokrasi – Langkah-langkah untuk mempertahankan demokrasi yang sehat.

  6. Kesimpulan – Rangkuman dan refleksi atas fenomena ini.

  7. Penutup – Catatan akhir tentang peran masyarakat dalam menjaga demokrasi.

  8. Ajakan Positif – Mendorong pembaca untuk berdiskusi dan mengambil peran.

  9. Evaluasi – Pertanyaan reflektif untuk menguji pemahaman pembaca.


Pendahuluan

Di galaksi yang jauh, di Planet Yeow, negara Ouch telah menemukan cara revolusioner untuk "menjual" demokrasi dengan diskon besar-besaran. Tidak seperti di planet lain, di mana demokrasi diperjuangkan dengan darah dan air mata, Ouch memutuskan untuk menjadikannya sebagai barang dagangan. Dengan berbagai paket promosi dan program cashback, demokrasi di Ouch bisa didapatkan dengan harga miring, tanpa ribet! Namun, pertanyaannya: apakah demokrasi yang dijual murah masih bisa disebut demokrasi sejati?

Demokrasi sebagai Produk Diskon

Di Ouch, demokrasi bukan lagi sebuah prinsip yang harus dijaga dan diperjuangkan, melainkan sebuah produk yang bisa dipasarkan. Pemerintah Ouch bekerja sama dengan berbagai korporasi dan influencer politik untuk menjual "hak suara" dengan diskon 70%. Beberapa program menarik yang mereka tawarkan antara lain:

  • Paket Buy One Get One Vote – Beli satu suara, dapatkan satu suara tambahan untuk diberikan kepada teman.

  • Cashback Partisipasi – Pemilih yang datang ke TPS mendapatkan poin yang bisa ditukar dengan barang elektronik.

  • Undian Demokrasi – Pemilih beruntung bisa memenangkan hadiah seperti perjalanan ke bulan atau kursi parlemen selama seminggu.

Konsep ini mungkin terdengar inovatif, tetapi banyak pihak mulai mempertanyakan dampaknya terhadap legitimasi politik di Ouch.

Studi Kasus: Pesta Demokrasi Murah Meriah

Salah satu contoh nyata dari fenomena ini terjadi dalam Pemilu Besar Yeow tahun lalu. Dengan kampanye bertajuk "Demokrasi untuk Semua dengan Harga Hemat!", pemilih bisa membeli suara tambahan melalui aplikasi khusus. Kandidat-kandidat yang memiliki modal besar menggunakan strategi ini untuk mendominasi pemilu.

Hasilnya? Seorang mantan selebgram dengan jutaan pengikut berhasil memenangkan kursi presiden setelah timnya mengadakan flash sale suara di marketplace terbesar di Ouch. Slogan kampanyenya? "Semakin Banyak Vote, Semakin Happy!"

Konsekuensi Penjualan Demokrasi

Dengan demokrasi yang dikomersialkan seperti ini, beberapa dampak yang muncul antara lain:

  • Hilangnya Kredibilitas Pemilu – Pemilih tidak lagi memilih berdasarkan kebijakan dan visi, melainkan siapa yang menawarkan promo terbaik.

  • Dominasi Oligarki – Kandidat yang memiliki sumber daya lebih besar dapat membeli kemenangan dengan mudah.

  • Kesenjangan Sosial – Rakyat biasa tidak memiliki kesempatan untuk berpartisipasi dalam politik secara adil.

  • Kebijakan Berbasis Sponsor – Pemerintah yang terpilih lebih cenderung berpihak pada investor kampanye mereka daripada pada rakyat.

Contoh Praktis: Cara Mencegah Diskon Demokrasi

Jika demokrasi di planet Yeow ingin kembali ke jalurnya, ada beberapa langkah yang bisa dilakukan:

  1. Edukasi Politik – Masyarakat perlu diberikan pemahaman tentang pentingnya suara mereka dan bagaimana memilih secara bijak.

  2. Pembatasan Dana Kampanye – Menetapkan batasan maksimal untuk dana kampanye agar tidak ada kandidat yang bisa "membeli" kemenangan.

  3. Peningkatan Transparansi – Semua transaksi kampanye harus diaudit secara terbuka oleh lembaga independen.

  4. Sanksi bagi Pelanggar – Kandidat atau partai yang terbukti melakukan politik uang harus didiskualifikasi.

  5. Partisipasi Publik – Warga harus lebih aktif mengawasi jalannya pemilu dan melaporkan kecurangan.

Kesimpulan

Apa yang terjadi di Ouch adalah contoh ekstrim dari bagaimana demokrasi bisa berubah menjadi sekadar alat dagang jika tidak dijaga dengan baik. Fenomena ini menunjukkan bahwa tanpa kontrol dan kesadaran publik, demokrasi bisa kehilangan esensinya dan menjadi hanya sebatas formalitas belaka.

Penutup

Demokrasi seharusnya tidak dijual dengan diskon, melainkan diperjuangkan dengan kesadaran dan partisipasi aktif masyarakat. Jika dibiarkan, Planet Yeow bisa berakhir dengan sistem politik yang dikendalikan oleh mereka yang memiliki dompet paling tebal, bukan mereka yang memiliki niat terbaik untuk rakyatnya.

Ajakan Positif

Bagaimana menurut kalian, warga Yeow? Apakah demokrasi harus tetap seperti ini, atau sudah saatnya kita merebutnya kembali? Tinggalkan komentar dan diskusikan bagaimana kita bisa membangun demokrasi yang lebih sehat!

Evaluasi

  1. Mengapa konsep "diskon demokrasi" bisa merusak sistem politik?

  2. Apa saja dampak nyata yang terjadi di Ouch akibat demokrasi yang dikomersialkan?

  3. Langkah apa yang bisa diambil masyarakat untuk menjaga integritas demokrasi?


Dengan pendekatan satir ini, kita bisa menyampaikan kritik mendalam terhadap sistem politik sambil tetap membuatnya menjadi pembelajaran bagi pembaca. ๐Ÿš€๐Ÿ”ฅ

Friday, February 7, 2025

Revolusi Cuma di Instagram




 


 "Revolusi di Ujung Filter: Like untuk Keadilan, Swipe untuk Lupa"

๐Ÿ“Œ Pengantar Pendek:

"Kau bilang ingin ubah dunia? Tapi jempolmu tak pernah keluar dari layar. Revolusi kini bukan lagi berdarah – cukup pakai hashtag dan filter dramatis."
Karya Pengembara Hidup: Jeffrie Gerry (Japra)


๐Ÿ“œ Puisi Satir: Revolusi Cuma di Instagram


Aku berdiri di tengah medan juang,
Dengan ring light menyala terang,
Lip tint merona dan caption membara,
"Justice for All" katanya, dari coffee shop Jakarta.

Keringat pejuang? Ah, itu terlalu sticky,
Lebih baik keringat boomerang di story,
Aku tag tiga temanku,
"Join the movement, tapi jangan lupakan aesthetic-nya dulu."

Dulu, revolusi bersenjatakan batu,
Kini, senjata utamanya adalah jempol dan fitur repost itu,
Darah? Ah, kami tak ingin kotor,
Cukup lihat feed penuh tragedi, lalu swipe untuk humor.

Pahlawan dulu menjeritkan nama bangsa,
Kami menjerit karena sinyal lemot saat live drama.
Petisi digital kami tabur seperti confetti,
Dengan harapan dunia berubah hanya dengan klik dan hati.

"Solidaritas tanpa keluar rumah!"
teriak influencer berambut cerah,
Sambil minum latte organik lokal
dan pose ala Che Guevara digital.

Kami ikut demo,
tapi hanya separuh badan—yang muat di frame,
Polisi mengacungkan pentungan,
Aku pun reflek: ambil angle, tambahkan filter dramatis,
"Perjuangan nyata ๐Ÿ’ช #resistantrasaLuxe."

Bicara moral dari ranjang empuk,
Mengetik kritik dari iPhone mahal,
Scroll, klik, marah, tidur.
Besok? Ulangi. Dengan template baru yang lebih viral.

Kau tanya aku tentang revolusi?
Itu sesuatu yang kupost tiap Kamis pagi,
Diiringi quote Mandela dan emoji menangis,
Lalu kuabaikan DM minta donasi.

Jangan salah, aku peduli—sangat,
Asal tak mengganggu algoritma dan insight.
Aku peduli Palestina,
Tapi lebih peduli feed yang senada warnanya.

Aku pernah menangis melihat tragedi,
Sambil tetap mencocokkan tone feed-ku, tentu saja,
Karena penderitaan, sayang,
Harus cocok dengan grid Instagram yang cerah.


Apakah ini zaman kebangkitan?
Entahlah, aku terlalu sibuk buka polling.
"Mau aku bahas topik apa minggu ini?"
Pilihannya: Rasisme, Kemiskinan, atau Body Positivity?
(semua akan di-wrap dengan filter vintage dan ending motivasi)

Jangan tanya aku soal membaca buku,
Aku sudah nonton semua video edukatif berdurasi 30 detik.
Revolusi, katanya, harus cerdas dan cepat—
Tapi jangan terlalu panjang, nanti skip dan lewat.

Kalau dulu rakyat lapar karena tirani,
Kini lapar karena kontennya basi.
Kami demo dalam bentuk carousel,
Dengan tips jadi aktivis tanpa bikin repot jadwal travel.

Aku punya strategi gerilya:
Tag akun besar, biar mereka repost perjuangan kita.
Biar jadi trending, biar viral,
Biar revolusi ini terasa nyaman dan digital.

Karena siapa butuh turun ke jalan,
Jika bisa naik follower dengan posting kebakaran?
Kami gelar perang dari sofa,
Dengan komentar tajam dan kaos bertema luka.


"Ayo ubah dunia!" katanya.
Sambil rebahan, pakai kaus 'equality' dari brand ternama.
#BoikotProdukPenjajah katanya lagi—
Tapi checkout belanja dari merek yang sama.

Kami ini generasi sadar,
Sadar akan pentingnya kesadaran.
Tapi terlalu sibuk sadar diri untuk benar-benar sadar pada yang lain,
Karena ya… hidup sudah cukup berat tanpa mikirin orang lain.

Kami posting anak jalanan,
Tapi block mereka kalau minta sumbangan.
Kami selfie di tempat banjir,
Caption-nya: "Bersyukur masih bisa tersenyum, meski duka mengalir."

Kami ini pejuang keadilan,
Asal adil buat brand deal dan exposure tambahan.
Karena kalau tak bisa mengubah dunia,
Minimal bisa naik engagement secara konsisten, bukan?


Jadi, revolusi kami bukan di barikade,
Tapi di kolom komentar dan utas panjang penuh parade.
Parade analisis dan kesadaran palsu,
Yang meledak secepat trending lalu menguap ke debu.

Dunia terbakar? Kami post meme,
Dunia tenggelam? Kami bikin reels keren.
Tertawa dulu, tangis kemudian,
Atau sebaliknya—asal dapat perhatian.

Kami ini generasi aktif:
Aktif mencari konten, bukan solusi.
Aktif berpose, bukan beraksi.
Aktif dalam wacana, pasif dalam risiko nyata.

Karena kami ingin perubahan,
Asal tidak menyita koneksi dan kenyamanan.
Ingin keadilan, asal tidak mengganggu desain layout halaman.
Ingin revolusi, asal bisa diedit dan dihapus bila gagal rencana.


✍️ Refleksi Penutup:

Puisi ini menyindir generasi yang ingin disebut progresif namun hanya bersuara di dunia maya. Sindiran ini ditujukan kepada para "aktivis" digital yang lebih peduli pada penampilan aktivisme ketimbang dampak nyatanya. Pesan moralnya adalah: revolusi sejati tidak bisa hanya berhenti di jempol dan layar, karena perubahan dunia bukan sekadar urusan estetika—tapi aksi nyata yang terkadang tidak fotogenik.


“Revolusi Filter: Ketika Perlawanan Butuh Caption Menarik”


Pengantar Pendek

“Zaman berganti: senjata bukan lagi bambu runcing, tapi jempol dan kamera depan. Revolusi kini menunggu sinyal, bukan komando.”

Karya Pengembara Hidup: Jeffrie Gerry (Japra)

Aku berdiri di tengah pusaran digital
Dengan hoodie Che Guevara hasil diskon musim gugur,
Di tangan kanan, kopi susu 40 ribuan,
Di tangan kiri, layar yang retak oleh notifikasi perjuangan.

“Revolusi itu penting,” kataku,
Sambil retake selfie keempat,
Karena yang pertama terlalu kusut,
Yang kedua terlalu jujur,
Yang ketiga ada jerawat.

Dulu revolusi butuh nyali,
Sekarang cukup nyalakan WiFi.
Dan jika sinyalnya lemah,
Kita tunda pemberontakan sampai next post.

Aku teriak soal kemiskinan
dari apartemen sewa harian,
Sambil buka Grab buat pesan sushi—
karena revolusi butuh energi, bro!

Aku suka posting anak jalanan,
Tapi tak pernah tanya namanya.
Karena yang penting itu likes,
Bukan identitas.

Aku terharu dengan krisis dunia,
Sambil cari angle terbaik dari balkon.
Latar senja. Wajah penuh luka pura-pura.
“#PrayForSemuaNegara” tulisnya,
Disertai emotikon api dan hati.

Aku ikut demo,
Tapi hanya selama powerbank cukup.
Karena kalau baterai habis,
Apa gunanya marah tanpa story?

Tentu, aku marah.
Marah pada ketidakadilan!
Tapi juga marah pada shadowban,
Dan algoritma yang kurang menghargai aktivisme glossy-ku.

Kami generasi sadar—
Sadar estetika, bukan etika.
Kami berjuang demi equality,
Selama tak mengganggu jadwal gym dan syuting podcast.

Dulu pahlawan ke penjara,
Kami ke coffee shop yang mirip sel isolasi,
Biar dramanya terasa nyata.
Barista tanya: “Mau kopi pakai rasa revolusi?”
Tentu! Asal ada oat milk-nya.

Kami buat puisi untuk buruh,
Tapi lupa membayar editor konten.
Kami bicara soal hak asasi,
Tapi mute teman sendiri karena beda opini.

Kami tandatangani petisi,
Tanpa membaca isinya,
Asal desainnya clean,
Dan font-nya cocok dengan tone akun.

Aku memblokir suara-suara kritis,
Karena vibraku harus positif,
Dan feed-ku harus harmonis,
Meski dunia tak pernah benar-benar sinkron.

Kami bicara soal feminisme,
Tapi endorse produk pelangsing.
Kami bela kaum miskin,
Tapi unfollow jika terlalu "keras".

“Revolusi adalah gaya hidup!”
teriak seorang model politik,
Sambil berpose dengan tangan terkepal,
Di depan mural grafiti yang dipesan khusus.

Kau tanya aku tentang pemahaman?
Oh, aku punya banyak kutipan,
Dari Mandela sampai Malala,
Hanya saja… aku belum sempat membaca bukunya.

Aku paham kolonialisme,
Dari serial Netflix terbaru.
Dan aku anti-kapitalis,
Asal barangnya ada diskon spesial.

Kami menari di atas luka dunia,
Dengan musik remix penderitaan.
Kami paradekan tragedi,
Karena tangisan lebih viral dari solusi.

Kami adalah pejuang digital,
Dengan bio bertema petir dan kesadaran.
Kami bicara tentang bumi,
Tapi naik mobil sendiri ke setiap event hijau.

Kami bagikan video kelaparan,
Lalu pesan pizza dua topping.
Kami upload banjir,
Lalu tanya: "Filter yang cocok yang mana ya?"

Kami hashtag semuanya:
#Solidaritas, #Bebas, #Berani,
Tapi isi DM penuh promosi dan afiliasi.

Kami update soal genosida,
Tapi skip berita yang tidak trending.
Karena empati kami berbatas trending topic,
Dan idealisme kami berbasis traffic.

Revolusi kini berukuran 1080 x 1350,
Harus muat di frame, harus catchy.
Karena kalau tak bisa swipe up,
Apa gunanya memperjuangkan?

Kami menulis manifesto,
Di caption 2200 karakter.
Kami berpuisi,
Tapi tak tahu siapa Chairil.

Kami demo,
Asal bisa pulang sebelum golden hour.
Kami berteriak,
Asal tak merusak make-up.

Kami menyusun strategi konten,
Untuk setiap penderitaan.
Karena tangisan yang dikurasi,
Lebih laku dari solusi yang basi.

Revolusi kini adalah branding,
Dan idealisme jadi niche.
Yang penting followers naik,
Biar bisa jual kaos bertema “Lawan!”

Kami tak ingin mati demi negara,
Kami ingin monetize duka manusia.
Karena kalau penderitaan tak bisa diiklankan,
Untuk apa peduli?


๐ŸŽญ Refleksi Penutup

Puisi ini menelanjangi wajah generasi yang katanya sadar, tapi lebih peduli estetika ketimbang etika. Ini sindiran untuk para “pejuang instan”—yang mengira keadilan sosial bisa tercapai lewat carousel dan emoji menangis. Ironinya: semakin banyak yang bersuara, semakin sunyi perubahan itu sendiri.

➡️ Pesannya sederhana: revolusi bukan tentang seberapa sering kau posting, tapi seberapa jauh kau berani kehilangan kenyamanan demi kebenaran.